Kebutuhan terhadap jasa broker properti

Jasa broker properti terkadang sangat kita butuhkan disaat ingin menjual, membeli atau menyewa properti, terlebih bagi mereka yang awam terhadap dunia properti dan ingin sesegera mungkin menjual, membeli atau menyewa properti dengan harga yang wajar.

Persoalannya, mereka seringkali tidak tahu, berapa komisi broker properti yang harus diberikan sebagai imbalan jasa atas bantuan yang telah mereka berikan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, satu hal yang harus digarisbawahi bahwa pemerintah memberikan batasan tentang besarnya komisi broker properti tersebut.

Pihak yang wajib memberikan komisi broker

Dalam sebuah transaksi properti yang melibatkan broker, pihak yang wajib membayarkan komisi broker adalah penjual karena dialah yang mendapatkan uang.

Lagipula pada umumnya kesepakatan tentang besaran fee brokerage tersebut sudah disepakati dengan pemilik properti di awal sebelum si broker membantu menjualkan propertinya.

Broker Properti Profesional

Broker properti profesional yang tergabung dalam sebuah perusahaan yang mempunyai legalitas, dalam arti perusahaan yang menaungi kerja mereka memiliki badan hukum, wajib mentaati peraturan tentang besaran komisi broker properti.

Permendag tentang komisi broker properti

Sebagaimana diketahui, menurut Permendag No 33/2008 disebutkan bahwa dalam proses jual beli properti, komisi sebesar 2 persen atau lebih dari besarnya nilai transaksi dibayar oleh pihak penjual.

Dalam permendag tersebut diatur besaran komisi sebagai berikut; Untuk transaksi dengan nilai diatas Rp.3 milyar, besarnya komisi pialang properti minimal 1 persen, untuk nilai jual properti antara Rp500 juta – Rp3 milyar komisi yang dibayar penjual sebesar 1,5 – 2,5 persen, sedang untuk transaksi dengan nilai dibawah Rp500 juta komisinya sebesar 3 persen.

Komisi tersebut selanjutnya dibagi antara broker dengan perusahaan yang porsinya sesuai dengan kebijakan yang berlaku di masing-masing perusahaan.

Namun pemerintah merevisi aturan perusahaan perantara perdagangan properti tersebut. Revisi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 51/M-DAG/PER/7/2017 tentang Perusahaan Perantara Perdagangan Properti atau P4.

Nah, dalam Permendag baru ini, pemerintah mengatur batasan komisi bagi broker properti yakni minimal 2% dan maksimal 5% dari nilai transaksi dan disesuaikan dengan lingkup jasa yang diberikan kepada pengguna jasa.

Sementara, komisi bagi broker properti dalam jasa sewa menyewa properti ditetapkan antaral 5% dan maksimal 8% dari nilai sewa.

Broker Properti Tradisional

Komisi untuk jasa broker properti freelance atau broker properti tradisional lebih bervariasi lagi. Mereka bisa saja meminta komisi lebih besar, bahkan bisa mencapai 5 – 10% dari besarnya transaksi jual beli.

Minta komisi kepada penjual dan pembeli

Selain komisi lebih besar karena memang mereka tidak terikat terhadap SOP tertentu, seorang broker properti tradisional adakalanya meminta komisi kepada kedua belah pihak.

Disamping mereka meminta komisi kepada penjual, mereka juga memintanya kepada pembeli. Dimana cara seperti ini tidak dibenarkan oleh broker properti profesional.

Komisi broker tradisional berdasarkan nominal

Tak jarang broker tradisional ini meminta fee mereka tidak berdasarkan persentase, melainkan langsung mematok harga jasa dalam bentuk rupiah.

Misalnya, dia meminta fee sebesar Rp7.500.000 jika mampu menjual rumah dengan kisaran harga antara Rp90 juta – Rp.100 juta.

Baca juga: Workshop Developer Properti di Indonesia yang Wajib Anda Ikuti

Komisi broker berdasarkan nilai per-luasan tertentu

Ada juga broker properti yang mematok komisinya berdasarkan luasan, dimana hal ini sering dipraktekkan dalam menjual properti berupa tanah.

Misalnya para broker tersebut meminta fee Rp100.000 per-meter persegi atau sejumlah lainnya sesuai kemampuan dan kesepakatan dengan pemilik properti.

Misalnya luas lahan 2 ha, maka fee si broker adalah 20.000 m2 x Rp100.000 = Rp2 milyar

Untuk contoh ini tentu cocoknya untuk tanah dengan harga yang sudah mahal, misalnya tanah tersebut harganya Rp3 juta/m2, maka wajar broker meminta komisi dengan cara seperti itu.

Karena musti dilihat juga kewajaran dari nilai yang diminta oleh broker. Misalnya harga tanah hanyalah Rp500.000/m2 lalu si broker meminta fee Rp100.000/m2, maka nilai ini tidak wajar.

Jika deal ini terjadi di luar sepengetahuan penjual dan pembeli, nantinya pada saat transaksi dilakukan di kantor notaris, maka kemungkinan transaksi akan batal.

Karena di kantor notaris tersebut penjual dan pembeli biasanya akan bicara langsung dan apa yang mereka bicarakan tidak bisa dikontrol oleh siapapun.

Logikanya adalah si pemilik properti tidak rela ada orang yang mengambil keuntungan darinya tanpa sepengetahuan dan seizinnya.

Demikian juga pembeli, ia merasa rugi karena harga yang dibayarkan seharusnya jauh dari harga yang ditawarkan oleh broker.

Ini agar menjadi perhatian bagi broker tradisional yang biasa bermain harga, sehingga 5 tahun menjadi broker tidak pernah berhasil menjual satupun properti.

Titip harga

Cara lain yang dilakukan broker tradisional dalam meminta komisi adalah “titip harga”. Maksud dari titip harga yaitu pihak penjual menetapkan harga pokok sedang si broker membuat harga sendiri diatas harga pokok.

Jika rumah yang dijual laku dengan harga yang dibuat oleh si broker, maka sisa uang dari harga jual dikurangi dengan harga pokok itulah yang menjadi haknya. 

Misalnya sebuah rumah harganya Rp1 milyar. Harga ini adalah harga yang diminta oleh si pemilik. Sementara si pemilik membolehkan broker untuk menjual dengan harga berapapun.

Dengan catatan bahwa berapapun harga yang disetujui oleh pembeli (tentu saja di atas harga yang diminta oleh pemilik), maka sisanya menjadi hak si broker.

Pemilik tidak wajib membayar komisi broker

Biasanya kesepakatan ini juga diimbangi dengan permintaan pemilik bahwa harga Rp1 milyar yang diterimanya adalah nilai bersih, dia tidak ada lagi kewajiban membayarkan komisi broker.

Mereka mempersilahkan broker mencari komisinya sendiri dengan mengatur harga properti.

Broker juga wajib membayarkan pajak dan biaya-biaya transaksi

Selain pemilik tidak membayar komisi broker, ada juga pemilik yang menginginkan bahwa nilai yang didapatnya sudah bersih, tidak dikurangi lagi dengan pajak dan biaya-biaya lainnya.

Pajak-pajak dan biaya transaksi tersebut diantaranya adalah Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 2,5%, biaya akta jual beli sekitar 1% dan biaya-biaya lainnya.

Jadi dalam hal ini tugas si brokerlah mencari kelebihan harga di atas Rp1 milyar untuk komisinya, pajak transaksi jual beli dan biaya-biaya lainnya.

Sebagai contoh bisa dilihat perhitungan simulasi berikut:

Jika si broker berhasil menjual properti tersebut dengan harga Rp1,2 milyar, maka begini hitung-hitungan komisi dan biaya-biaya;

  1. PPh = 2,5% x Rp1,2 milyar = Rp30.000.000
  2. AJB = 1% x Rp1,2 milyar = Rp12.000.000

Maka biaya-biaya yang wajib dikeluarkan dalam transaksi ini adalah Rp42.000.000

Sesuai kesepakatan dengan pemilik properti bahwa dia menerima bersih Rp 1 milyar, maka hak broker menjadi Rp1,2 milyar dikurangi Rp1 milyar dan dikurangi lagi dengan Rp42.000.000 = Rp158 juta.

Sementara pajak lainnya seperti BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dan biaya baliknama harusnya menjadi kewajiban pembeli.

Besarnya BPHTB adalah 5% dari nilai transaksi (setelah dikurangi dengan NPOPTKP)

NPOPTKP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang besarnya rata-rata di seluruh Indonesia Rp60 juta. Kecuali DKI Jakarta Rp80 juta dan Surabaya Rp70 juta.

Sedangkan besarnya biaya baliknama berbeda-beda tergantung PPAT yang membuat AJB. Ada yang minta 1% ada yang 2%.

Tentang mana yang akan dipilih antara broker profesional ataukah broker freelance atau broker tradisional, berpulang kepada si pengguna jasa karena keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan juga kekurangan.

Lebih aman dengan broker properti profesional

Bagi pengguna jasa broker yang ingin lebih aman dalam bertransaksi, sebaiknya memilih broker profesional, karena broker yang berada di bawah naungan sebuah perusahaan akan selalu mentaati kebijakan yang berlaku di perusahaan tersebut dan berusaha menjaga kredibilitas perusahaan.

Selain mentaati SOP (standard operating procedure) di perusahaannya, mereka juga terikat dengan peraturan yang dibuat pemerintah.

Diantara peraturan tersebut adalah Permendag No. 51/M-DAG/PER/7/2017 tentang Perusahaan Perantara Perdagangan Properti atau P4.

Disamping itu pemilik properti merasa aman karena nilai komisi broker properti dan langkah-langkah yang dilakukan dalam memasarkan properti tercantum semua di dalam kontrak sehingga mengikat semua pihak. 

Lebih fleksibel dengan broker tradisional

Sementara bagi pengguna broker profesional ada juga kelebihannya, yaitu prosesnya sangat fleksibel. Maksudnya antara pemilik dan si broker jarang dibuat kontrak.

Mereka memasarkan properti hanya berdasarkan kepercayaan kepada pemilik bahwa nanti ketika propertinya terjual mereka akan mendapatkan fee.

Sehingga bagi seorang broker tradisonal besaran fee bisa saja lebih kecil dari peraturan yang dibuat pemerintah bisa juga lebih besar. Sifatnya amat subjektif tergantung dari si pemilik properti.

Lihat artikel lainnya:

Tags

Berapakah Besarnya Komisi Broker Properti di Indonesia?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×

Hallo...!

Workshop Cara Benar Memulai Bisnis Developer Properti Bagi Pemula akan diadakan tanggal 20-21 Januari 2024 di Jakarta

× Info Workshop Developer Properti