Setiap transaksi jual beli properti melibatkan penjual dan pembeli. Kedua belah pihak, baik penjual maupun pembeli dikenakan pajak.

Pajak untuk penjual

Untuk penjual pajak yang dikenakan adalah Pajak Penghasilan (PPh). Tentang pengertian PPh ini diatur dalam Pasal 1 PP 34/2016, pajak penjualan tanah adalah “penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari:

  • pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
  • perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, terutang pajak penghasilan (“PPh”) yang bersifat final.

Besarnya PPh ini bisa berbeda-beda tergantung kondisi transaksi properti tersebut. Berikut beberapa kondisi tersebut:

  • 0% atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN) yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau badan usaha milik daerah (BUMD) yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud undang-undang mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
  • 1% atas dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah subsidi atau perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) 
  • 2,5% dari jumlah bruto nilai transaksi selain perumahan sederhana.  

Contoh perhitungan PPh:

Suatu transaksi jual beli atas tanah dan bangunan dilakukan dengan nilai Rp500.000.000,-

Maka atas transaksi tersebut si penjual dikenakan PPh. Besarnya PPh itu adalah sebagai berikut:

2,5% x Rp500.000.000 = Rp12.500.000,-

Pajak untuk pembeli

Jika penjual dikenakan PPh sebesar 2,5% maka pembeli dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Namun BPHTB tidak hanya dikenakan dalam transaksi jual beli. Ada beberapa transaksi atau peralihan hak, perolehan hak atas tanah yang dikenakan BPHTB.

  • Pemindahan hak karena jual beli; tukar-menukar; hibah; hibah wasiat; waris; pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; penunjukan pembeli dalam lelang; pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; penggabungan usaha; peleburan usaha; pemekaran usaha; atau hadiah; dan
  • Pemberian hak baru adalah karena adanya kelanjutan pelepasan hak atau di luar pelepasan hak.

Besarnya BPHTB

Nilai BPHTB dihitung berdasarkan rumus:

(NOP – NPOPTKP) x 5%

Dimana:

NOP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak/Nilai Transaksi/Nilai Taksiran Harga Pasar

NPOPTKP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak, besarnya berbeda-beda di tiap daerah. Tetapi rata-rata nilainya adalah Rp60.000.000,-

Sebagai contoh:

NPOPTKP Jakarta adalah Rp80.000.000

NPOPTKP Surabaya adalah Rp75.000.000

NPOPTKP selain Jakarta dan Surabaya seperti Bogor, Bekasi, Semarang, Bandung, dan daerah lainnya Rp60.000.000

Contoh perhitungan BPHTB

Sebidang tanah ditransaksikan dengan nilai Rp500.000.000,-

Tanah tersebut berlokasi di Jakarta. Berapa BPHTB yang wajib dibayarkan oleh pembeli?

Menghitung besarnya BPHTB:

(Rp500.000.000 – Rp80.000.000) x 5% = Rp21.000.000,-

BPHTB karena pewarisan

Menghitung BPHTB karena pewarisan pada prinsipnya sama saja dengan menghitung dengan BPHTB karena peristiwa lainnya. Perbedaannya adalah dasar pengenaan NOP yang berdasarkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) karena memang tidak ada transaksi dalam peristiwa pewarisan.

Perbedaan lainnya adalah besarnya NPOPTKP. NPOPTKP karena pewarisan ini nilainya antara Rp250.000.000 sampai dengan Rp350.000.000.

Untuk Jakarta NPOPTKP karena pewarisan adalah Rp350.000.000,-

Sedangkan daerah lain NPOPTKP sebesar Rp300.000.000,-

 

 

Lihat artikel lainnya:
Pajak Yang Wajib Dibayarkan Ketika Transaksi Jual Beli Properti
Tagged on:                     

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×

Hallo...!

Workshop Cara Benar Memulai Bisnis Developer Properti Bagi Pemula akan diadakan tanggal 21 - 22 Desember 2024 di Jakarta

× Info Workshop Developer Properti