Relaksasi: Pemerintah membolehkan KPR dengan DP 0%
Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan pelonggaran Loan To Value (LTV) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/8/PBI/2018 tentang rasio Loan To Value (LTV) dan rasio Financing To Value (FTV) untuk pembiayaan properti, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2018.
Melalui PBI tersebut bank diperbolehkan menyalurkan kredit dengan memberikan LTV atau FTV sampai dengan 100%.
Artinya uang muka yang harus disediakan oleh konsumen ketika mengajukan pembiayaan pembelian rumah dengan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bisa 0 rupiah.
Peraturan tentang relaksasi ini diterbitkan oleh pemerintah untuk menjaga agar iklim bisnis properti di Indonesia menjadi lebih bergairah lagi, terbangun dari lelap panjang. Karena sudah 4 tahun bisnis properti dalam kondisi adem ayem.
Selain itu relaksasi ini juga dipicu oleh naiknya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dari 4,25 menjadi 5,25 persen tahun ini.
Dan diprediksi pemerintah masih akan menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat, sehingga dengan naiknya suku bunga acuan menyebabkan bunga KPR menjadi diatas 12%.
Dengan turunnya uang muka pembelian rumah diharapkan menjadi kompensasi yang seimbang terhadap naiknya suku bunga.
Tak dipungkiri relaksasi ini bisa membuat masyarakat semakin mudah dalam memiliki rumah karena masyarakat tidak perlu menyediakan uang muka yang besar. Bahkan tanpa DP masyarakat sudah bisa membeli rumah.
Pelonggaran LTV ini juga pernah dilakukan pada tahun 2016. LTV 85% untuk rumah pertama dengan demikian DP hanya 15%. Sedangkan untuk rumah kedua dan ketiga berturut-turut LTV-nya adalah 20 dan 25%.
Perlu Kebijakan Pendukung
Penurunan uang muka (DP) menjadi 0 persen ini tentu berpengaruh kepada minat dan kemampuan beli masyarakat.
Karena umumnya masyarakat kesulitan menyediakan uang muka yang besar dalam membeli rumah walaupun sebenarnya sanggup membayar cicilan.
Namun pelaku pengembang properti mengharapkan tidak hanya aturan tentang uang muka pembelian yang dibuat pelonggaran.
Ada beberapa kondisi pendukung lainnya yang perlu diperhatikan pemerintah, diantaranya suku bunga lebih rendah bukan hanya rendah fix 2 – 4 tahun pertama.
Hal ini penting supaya nantinya besaran angsuran tidak memberatkan konsumen.
Untuk membuat supaya cicilan yang akan dibayarkan oleh konsumen menjadi lebih kecil pemerintah perlu mempertimbangkan juga agar jangka waktu kredit bisa dibuat lebih panjang. Misalnya menjadi 25 atau 30 tahun.
Hal ini akan sangat membantu generasi millenial yang umurnya masih 20 sampai dengan 30 tahun agar sanggup membeli rumah.
Karena mereka pada awal-awal masuk di dunia kerja masih dalam tahap membangun karir dengan penghasilan yang belum begitu besar.
Perlu Juga Kondisi yang Mendukung
Untuk menjaga agar bisnis properti lebih bergairah di samping peraturan yang terus disempurnakan, hal yang tak kalah pentingnya adalah menjaga agar kondisi sosial politik tetap stabil dan kondusif.
Apabila kondisi stabil dan kondusif maka masyarakat tidak khawatir membelanjakan uangnya di sektor properti.
Sementara untuk kondisi secara umum pemerintah wajib membuat nilai tukar rupiah stabil sehingga pengembang tidak terbebani eskalasi harga material yang mungkin terjadi.
Selain itu, bergairahnya bisnis properti juga disebabkan oleh peningkatan daya beli masyarakat. Jika terjadi penurunan daya beli masyarakat maka itu akan mempengaruhi seluruh sektor bisnis tak terkecuali bisnis properti.
Perlu Waspadai Spekulan
Bank dan pengembang perlu juga mewaspadai adanya para spekulan yang bermain. Modusnya adalah dengan membeli beberapa properti untuk motif investasi dalam waktu bersamaan.
Mereka sanggup membeli banyak properti dengan memanfaatkan relaksasi ini.
Jika terjadi pembelian oleh konsumen dengan motif investasi bagi pengembang ini adalah penjualan semu, belum terjadi penjualan sebenarnya.
Jika ini terjadi maka banyak properti yang sudah terjual tetapi nantinya akan dijual lagi dengan harga yang lebih mahal. Properti tidak ada yang menempati, kawasan terlihat kosong.
Lama-lama harga menjadi mahal sehingga tidak ada lagi orang yang sanggup membeli properti. Ini yang ditakutkan, kondisi inilah yang dinamakan bubble property. Jadi relaksasi LTV dan FTV ini sangat beresiko memicu menggelembungnya harga properti.
Tetap Kontrol Oleh Pemerintah
Aturan tentang relaksasi ini membebaskan bank menentukan LTV/FTV atau uang muka pembelian rumah untuk semua tipe.
Namun pemerintah melalu BI dan OJK terus melakukan pemantauan terhadap pergerakan harga properti di pasaran untuk mengantisipasi terjadinya kondisi bubble.
Selanjutnya jika diperlukan BI dan OJK bisa memeriksa bank dengan lebih detil jika ditengarai ada kondisi yang membahayakan yang mengarah ke kondisi bubble property.
Untuk menghindari kondisi yang tidak diinginkan BI menerapkan aturan main supaya bank bisa menerapkan dan memanfaatkan kelonggaran LTV/FTV, dimana bank yang akan memanfaatkan relaksasi ini harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- Rasio Non Performing Loan atau kredit macet di bawah 5%.
- Tidak boleh mengalihkan kredit antara debitur dalam jangka waktu 1 tahun.
- Bank harus memiliki kebijakan memperhatikan kemampuan debitur dalam membayar cicilan.
- Bank tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit.
- Bank memperhatikan kelayakan usaha dari developer.
- Transaksi pemberian kredit dan pencairan bertahap harus melalui rekening bank dari debitur dan developer
Waspada Terhadap Naiknya NPL
Akibat negatif dari kebijakan relaksasi LTV ini adalah semakin besar resiko kredit macet, non performing loan (NPL) perbankan karena semakin besar cicilan yang ditanggung oleh konsumen.
Karena itulah resiko dan konsekuensinya, jika uang muka lebih rendah atau bahkan 0% menyebabkan hutangnya menjadi besar, resikonya ya cicilannya menjadi lebih besar. Inilah yang bisa menyebabkan kredit macet.
Cicilan Ringan Lebih Disukai Masyarakat
Perlu dipahami oleh pemerintah bahwa masyarakat sebenarnya lebih butuh bunga KPR rendah dan tenor yang lebih panjang sehingga cicilan bisa lebih ringan ketimbang keringanan uang muka.
Karena tenor KPR lebih panjang dengan bunga rendah menyebabkan cicilan menjadi amat kecil.
Pemerintah tidak perlu khawatir tentang cicilan rumah untuk masyarakat menengah ke bawah karena mereka akan memperjuangkan cicilannya karena mereka sadar bahwa suatu saat nanti rumah yang mereka tempati akan menjadi milik mereka.
Beda dengan kalangan menengah atas yang lebih memposisikan membeli properti dengan skema KPR adalah bagian dari instrumen investasi.
Perlu Perbaikan dalam Hal Perijinan dan Pajak
Pemerintah sudah berusaha untuk membuat bisnis properti bergairah lagi dengan adanya peraturan tentang relaksasi LTV/FTV, namun kebijakan ini seharusnya juga diiringi dengan perbaikan tentang perijinan dan pajak.
Masalah perijinan kerap kali dialami oleh pengembang di lapangan. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat kadangkala tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah setempat dengan berbagai alasan.
Kondisi ini bisa menyebabkan bisnis properti terkendala dalam pembangunan dan finansial karena biaya tinggi saat mengurus perijinan. Di samping butuh waktu lama untuk mengurus perijinan tersebut.
Bagi developer kondisi ini tentu amat merugikan termasuk juga merugikan kepada konsumen karena biaya-biaya tersebut akan dibebankan kepada harga jual properti itu sendiri.
Begitu juga dalam hal pajak. Pemerintah perlu memberikan keringanan supaya beban developer dan konsumen bisa lebih ringan lagi.
Dalam hal penjualan rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) misalnya pemerintah saat ini masih membebankan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) kepada konsumen. Jika tidak bisa dihilangkan mungkin bisa diberi keringanan untuk mereka dalam bentuk potongan 50 sampai 75%.
Demikian juga kepada developer masih ada kewajiban Pajak Penghasilan (PPh).
Hanya untuk Properti Inden
Pelonggaran LTV hanya untuk properti yang dijual dengan cara inden, yaitu properti yang dijual melalui skema KPR ketika properti itu belum dibangun.
Dengan demikian pencairan KPR tersebut bertahap sesuai dengan progres pekerjaan.
Begini tahapan dan aturannya, setelah pembangunan pondasi selesai secara akumulatif bisa pencairan sampai dengan 50%.
Setelah memasuki tahap topping off pencairan sampai dengan 90% dan pada saat AJB dan covernote dari notaris pencairan 100%.
Lihat artikel lainnya:- Relaksasi LTV dan FTV, Beli Rumah Dengan DP 0 Persen
- Bank Apa Saja yang Bisa Menyalurkan KPR Dengan DP Nol Rupiah, Atau Nol Persen?
- Begini Langkah Memiliki Properti Tanpa Harus Membeli Tunai
- DP Suka-Suka Konsumen, Bagaimana Strateginya?
- Bagaimana Kondisi Bisnis Properti di Tahun 2021?
- Bebas Uang Muka dan Bebas PPN Sudah Kawin. Langgengkan!
- Beberapa Penyebab KPR Anda Ditolak
- Beli Rumah Saat Ini Bisa Dengan DP 0 Persen
- Ini Dia Pembiayaan Perbankan untuk Developer dan Konsumen
- Ini Stimulus di Properti yang Sudah Diberikan; DP 0%, PPN 0% dan BPHTB Juga 0
- Fakta Ekonomi Properti: Trendnya Lambat Sehingga Mudah Diprediksi
- Relaksasi DP Rumah Subsidi, Turun Dari 5% menjadi 1% Saja
- Begini Siklus Bisnis Properti di Indonesia
- Apa Beda Program FLPP, BP2BT Dan Subsidi Selisih Bunga KPR?
- MANTAP! Karyawan Kontrak Sudah Bisa Dapat KPR