Sudah menjadi rahasia umum, bisnis properti adalah salah satu bisnis yang paling cepat menciptakan kekayaan.

Bebarapa konglomerat besar lebih popular dalam bisnis propertinya dibanding bisnis utama lainnya. Apa yang kita tahu dengan Group Sinar Mas? Perumahan BSD, bukan Indah Kiat Pulp & Paper (pabrik kertas).

Apa yang kita ingat dari The Nin King, Perumahan Alam Sutera, bukan Argo Pantes (Pabrik tektil). Yang kita ingat dari Group Agung Sedayu, Perumahan Pantai Indah Kapuk, yang kita ingat dari Group Lippo adalah Perumahan Lippo Karawaci, yang kita ingat dari Paramount adalah perumahan Paramount Serpong dan Bekasi, bukan pabrik Batik Keris.

Dalam bisnis properti, laku atau tidak laku rumah yang kita jual, kita tetap jadi orang kaya, jika rumah yang kita bangun cepat laku kita jadi kaya, banyak duit.

Jika rumah tidak laku, kita tetap jadi orang kaya, punya banyak rumah (asset). Serta ingat, harga rumah selalu naik, meskipun tidak laku, secara asset kekayaan jadi naik.

Sharing

Pada tahun 2005, di salah satu proyek cluster yang sedang saya bangun, saya sedang menugaskan kontraktor untuk membangun 3unit rumah.

Meskipun total lahan masih tersedia 5 kaveling, dengan pertimbangan belum ada pembeli potensial saya hanya menugaskan kontraktor membangun 3 rumah.

Sisa 2 unit kaveling sementara saya tinggalkan untuk tidak dibangun. Selain alasan belum ada konsumen, yang paling pokok saya tidak ada anggaran membangun sampai 5 unit.

Baca juga: Ini jadwal workshop developer properti terdekat

Saya tidak mau beresiko gagal bayar ke pemborong. Namun demikian, pemborong meminta agar 2 unit yang tersisa sekaligus dibangun.

Dengan alasan ini, permintaan pemborong saya tolak. Namun barangkali pemborong memiliki dana cukup, pemborong memaksa untuk dibangun sekaligus 2 unit tersebut.

Akhirnya saya serahkan ke pemborong, dengan catatan saya tidak mau ditagih jika sampai bangunan jadi rumah belum terjual.

Atas syarat ini pemborong setuju. Singkat cerita, 2 kaveling tersisa dibangun dengan dana pemborong tanpa ada jaminan ikatan akan dibayar sebelum rumah laku.

Sebagai informasi harga 1 kaveling tanah seluas 7×12 m (84 m2) saat itu senilai 50 juta atau 2 kaveling setara Rp. 100 juta.

Harap dicatat, saya berarti punya asset 2 kaveling tanah senilai Rp. 100 juta. Harga borongan membangun rumah type 36 pada saat itu per-unit Rp. 75 juta.

Dengan dibangun 2 unit oleh pemborong, tiga bulan kedepan saya berpotensi akan punya hutang senilai 150 juta. (meskipun komitmen awal tidak akan saya bayar dulu).

Apa yang saya bayangkan terjadi, 4 bulan kemudian, setelah 2 unit rumah terbangun dengan uang pemborong, rumah belum laku kejual. Pasaran 1unit rumah untuk type 36/72 saat itu berkisar Rp. 200 juta.

Guna menjaga komitmen, saya tawarkan 1unit rumah sebagai kompensasi pembayaran borongan dan pemborong setuju. Akhirnya 1unit rumah saya balik nama ke pemborong dan hutang atas pembangunan 2unit rumah menjadi lunas.

Pemborong saya senang, dimana hasil kerja pemborongan 2 unit rumah senilai 150 juta dibayar dengan 1 unit rumah dengan pasaran 200 juta. 

Tapi sebenarnya yang lebih senang lagi adalah saya, 4 bulan yang lalu saya punya 2 kaveling tanah kosong senilai 100 juta, 4 bulan kemudian kaveling saya tinggal 1 tapi ada rumah diatasnya seharga pasaran 200 juta.

Tanpa mengeluarkan uang 1 rupiah pun, asset saya bertambah 100 % dalam waktu 4 bulan. Di bulan ke enam, rumah tersebut terjual 225 juta.

 

diambil dari buku DARI CLUSTER MENJADI DEVELOPER-Mandor Tomo | Sekjen DEPRINDO

Lihat artikel lainnya:
Bisnis Properti yang Menciptakan Kekayaan
Tagged on:                         

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×

Hallo...!

Workshop Cara Benar Memulai Bisnis Developer Properti Bagi Pemula akan diadakan tanggal 20-21 Januari 2024 di Jakarta

× Info Workshop Developer Properti