Entah dari mana awalnya, entah siapa yang memulai beredar semacam flyer di grup-grup WA yang menyatakan bahwa beberapa pajak dalam pembelian properti akan dihapuskan. Pajak-pajak tersebut adalah PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).
PPN dan BPHTB merupakan kewajiban pembeli properti
Saat ini PPN dipungut terhadap pembeli properti primary atau properti yang dijual oleh developer, sementara BPHTB wajib dibayarkan oleh pembeli properti, karena seperti itulah undang-undang mengaturnya. Tentang BPHTB ini diatur dalam UU No. 20 Tahun 2000. UU BPHTB ini menyatakan bahwa perolehan properti melalui jual beli merupakan salah satu transaksi yang diwajibkan membayarkan BPHTB, disamping perolehan lainnya seperti, tukar menukar, hibah (perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dari pemberi hibah, namun pemberi hibah masih hidup), hibah waris (perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada penerima hibah namun berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia) dan waris.
PPN dan BPHTB memberatkan masyarakat dalam membeli properti
Jika pajak-pajak ini betul akan dihilangkan akan memberikan gairah tak terbantahkan di bisnis properti. Karena selama ini pajak-pajak ini agak memberatkan masyarakat dalam membeli properti terutama untuk rumah dengan harga menengah. Rumah harga menengah ini range harganya antara harga perumahan subsidi sampai dengan 1 milyar rupiah. Jadi harganya antara 200 juta sampai dengan 1 milyar.
Khusus perumahan subsidi memang sudah digratiskan oleh pemerintah. Sementara harga rumah di atas 1 milyar sudah termasuk orang kaya, pada mereka tidak masalah jika ketika membeli rumah, ruko atau apartemen ditambahkan PPN.
PPN cukup besar, saat ini 11% dari besaran transaksi sementara BPHTB 5%. Jadi sekurangnya ada penambahan harga 16% jika dibandingkan dengan harga normal satu unit rumah. Memang beberapa tahun belakangan pemerintah memberikan relaksasi pembebasan PPN untuk jangka waktu tertentu dan harga tertentu.
Hore-hore pengembang dan insan properti menyambutnya
Kebijakan ini, jika memang akan berlaku, tentu saja disambut gegap gempita oleh insan properti, terutama pengembang. Pengembang sudah membayangkan bahwa penjualan produknya akan menjadi lebih murah dan lebih mudah.
Efeknya adalah bisnis turutan properti juga akan bergerak. Terutama bisnis material bangunan seperti semen, besi, baja, alumunium, kaca, genteng, hebel, bata, material lantai dan bahan bangunan lainnya. Di pabrik material bangunan tersebut tidak hanya pengusaha yang menikmati, tetapi juga para karyawan pabrik tersebut.
Tak lupa bisnis orang lokal seperti material bangunan yang berasal dari alam seperti batu dan pasir dan bahan turutannya. Karena lazim terjadi bahwa material alam banyak di-supply oleh pengusaha lokal.
Tidak hanya itu, jika bisnis properti bergerak, akan memberikan pekerjaan kepada banyak sekali orang, terutama kontraktor, mandor dan tukang. Mulai dari kontraktor kecil, menengah, kontraktor besar, tukang kayu, tukang batu, tukang besi, tukang halus seperti pemasangan lantai presisi dan setiap orang yang terlibat dalam pengembangan sebuah proyek properti. Mereka semua akan terhidupi jika bisnis properti bergairah bergerak.
Pengusaha material bangunan, developer properti, kontraktor, mandor, tukang dan semua yang terkait dalam pengembangan sebuah proyek properti, merekalah para insan properti yang akan menikmati gerak di bisnis properti.
Negara akan kekurangan pemasukan pajak
Hanya saja kelamahannya adalah negara akan kekurangan pemasukan dari pajak PPN tersebut, termasuk juga daerah kekurangan pemasukan dari BPHTB. PPN menjadi haknya pemerintah pusat, sementara pengelolaan dan penerimaan BPHTB menjadi hak dan kewenangan daerah.
Jika dilakukan audit kemanfaatan
Tetapi jika kita bisa membandingkan, okelah negara kekurangan pemasukan tetapi negara tetap mendapatkan pajak ketika penjualan material bangunan, termasuk ketika developer membeli tanah. Jika kita lakukan audit kemanfaatan, bebas PPN dan BPHTB ini layak untuk diwujudkan oleh pemerintah.
Kenapa? Okelah negara tidak mendapatkan pemasukan berupa PPN dan BPHTB tetapi banyak rakyatnya mendapat pekerjaan. Tidak negara yang menikmati bisnis properti dalam bentuk pajak-pajak, tetapi rakyat. Dalam hal ini negara mengalah sedikitlah tidak mengapa, demi rakyatnya.
Antah iyo antah indak
Akhirnya perlu dipastikan lagi bahwa apakah kebijakan bebas PPN dan BPHTB ini betul akan diberlakukan. Pemerintah tentu sudah memiliki hitungan sendiri. Dari sisi insan properti, keinginan kita jelas, kita berharap betul itu dikongkritkan. Tetapi sampai saat ini belum ada kabar burung yang menyampaikan. Entah iya entah tidak.
Author: Asriman A. Tanjung, ST
Penulis buku Cara Benar Meraih Sukses Di Bisnis Properti yang diterbitkan Gramedia
Pendiri dan Ketua Dewan Pembina DEPRINDO (Developer Properti Indonesia), asosiasi developer properti yang sudah diakui pemerintah
Pemilik asriman.com, blog properti nomor 1 di Indonesia
Lihat artikel lainnya:
- Pajak Yang Wajib Dibayarkan Ketika Transaksi Jual Beli Properti
- Apakah Mengurus SHM Tanpa Jual Beli Dikenakan BPHTB
- Contoh dan Cara Menghitung BPHTB pada Jual Beli
- Cara Mudah Menghitung BPHTB Waris – Contoh Perhitungan
- Begini Cara Menerapkan Gimmick Marketing Free Biaya-Biaya, BPHTB dan PPN
- Berapa Besarnya Biaya Akta AJB PPAT?
- Bagaimana Cara Jual Beli Tanah Girik Di Notaris
- Pajak-Pajak dalam Transaksi Jual Beli Properti
- Cara Menghitung PPh dan BPHTB Rumah Subsidi
- Apakah Surat Jual Beli di Bawah Tangan Atas Tanah dan Bangunan Sah Secara Hukum?
- Siapa yang Wajib Membayar Pajak Jika PBB Belum Dibaliknama?
- Apakah Bisa Mengajukan Baliknama Sertifikat Jika Dasar Jualbeli Hanya Kuitansi atau Surat Jual Beli Di Bawah Tangan
- Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Tarif Baru PPh Final 2.5% atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan
- Biaya-Biaya yang Timbul Dalam Proses Jual Beli Rumah Second
- Kenapa Tanah yang dibeli PT harus HGB Tidak Bisa Hak Milik