Pada dasarnya apapun tindakan hukum yang akan dilakukan oleh pemilik terhadap kepemilikan benda-benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan tidak memerlukan persetujuan dari siapapun, kecuali suami/istri terhadap harta bersama atau harta gono gini.
Seorang suami memerlukan persetujuan istri untuk melakukan tindakan hukum terhadap benda-benda tidak bergerak miliknya begitupun sebaliknya.
Selama si pemilik dapat membuktikan kepemilikannya secara sah terhadap suatu objek maka ia berkuasa penuh untuk melakukan apapun tak terkecuali menjual atau melakukan perikatan dengan pihak lain.
Dalam konteks pembahasan sebagai developer properti, kondisi di atas bisa terjadi ketika ada seorang pemilik tanah-termasuk istrinya, telah bersedia melakukan kerjasama untuk membangun perumahan di lahan miliknya dengan seorang pengembang perumahan.
Kondisi yang sering ditemui adalah si pemilik lahan sudah berumur dan memiliki beberapa anak.
Si pemilik sudah setuju untuk membangun perumahan di lahan miliknya dengan berbagai kondisi yang ditawarkan oleh developer, baik tentang tata cara pembayaran tanah dan besaran bagi hasil yang menjadi hak pemilik lahan.
Dalam proses kerjasama nantinya akan banyak dilakukan perikatan-perikatan dalam bentuk perjanjian-perjanjian.
Jika menemui kondisi seperti ini seorang developer properti yang bertindak sebagai partner dalam pembangunan proyek perumahan tersebut musti hati-hati membuat perjanjian-perjanjian. Perjanjian yang dibuat harus mengakomodasi berbagai kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi dalam perjalanan kerjasama pembangunan proyek.
Kemungkinan terburuk yang paling mungkin terjadi adalah meninggalnya pemilik lahan sehingga hak pemilik lahan akan menjadi hak para ahli warisnya.
Jika para ahli waris satu suara dan menghargai perjanjian yang sudah ditandatangani oleh orang tuanya dan bermaksud untuk melanjutkan perjanjian tersebut maka tidak akan muncul masalah.
Masalah akan timbul jika mereka menginginkan hal yang berbeda dengan apa yang sudah disetujui oleh orang tuanya, karena terdapat celah bagi mereka untuk memperkarakan perjanjian tersebut.
Mereka beralasan bahwa perjanjian ditandatangani tanpa persetujuan mereka.
Developerpun bisa mempertahankan perjanjian dengan melihat pasal-pasal perjanjian yang seyogianya mengantisipasi kejadian meninggalnya salah satu atau kedua belah pihak.
Tetapi berkaca dari kejadian yang sudah pernah terjadi di lapangan, kondisi ini cukup menyita waktu dan energi developer sehingga mengganggu jalannya proyek.
Karena bagaimanapun kondisinya, apakah developer akan menang atau kalah si developer tetap kalah karena waktu sudah tersita untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dilakukan oleh para ahli waris.
Untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan seperti kondisi di atas saya menyarankan agar dalam pembuatan perjanjian kerjasama sebaiknya dicantumkan persetujuan dari seluruh anak pemilik lahan.
Jadi pada saat penandatanganan perjanjian, selain pemilik yang menandatangani akta, juga disediakan ruang untuk anak-anaknya ikut menandatangani sebagai tanda mereka menyetujui seluruh isi perjanjian.
Jika perjanjian kerjasama sudah ditandatangani oleh (calon) ahli waris, nantinya tidak ada lagi alasan mereka untuk memperkarakan perjanjian tersebut karena perjanjian yang sudah mereka tandatangani wajib mereka patuhi, itulah undang-undang bagi mereka, sesuai dengan maksud yang terkandung dalam Pasal 1338 KUHPer yang menyatakan bahwa Semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Lihat artikel lainnya:- Persetujuan Suami atau Istri dan Anak dalam Menjual Rumah dan Tanah
- Apakah Perlu Persetujuan Anak Ketika Seorang Ayah Ingin Menjual Tanah Atas Namanya, Sementara Istrinya Sudah Meninggal?
- Tata Cara Peralihan Hak Tanah dan Bangunan dengan Akta Jual Beli
- Hati-hati, Akta Kuasa Untuk Menjual bisa Ditolak oleh Bank
- Tanggungjawab Developer Jika Apartemen yang Dibangunnya Rusak dan Mengakibatkan Kerusakan Harga Benda, Cacat Seumur Hidup atau Ada yang Meninggal
- Gimana Tanggungjawab Perusahaan Pemegang KKPR Jika Tanah Belum Dibebaskan
- Bagaimana Mengurus Tanah Warisan Dari Orang Tua ke Atas Nama Ahli Waris
- Undang-Undang Hak Tanggungan Dan Kekuatan Eksekutorial
- PPJB Lunas, PPJB Tidak Lunas Dan Posisi Pentingnya Dalam Proses Jual Beli
- Apa yang dimaksud dengan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun?
- Jika Rumah yang Dibangun Developer Longsor, Bagaimana Tanggungjawab Developer
- Kenapa Pembayaran Tanah Secara Bertahap Sering Disepakati Antara Pemilik Lahan Dan Developer
- Apa Beda MoU dan PPJB?
- Contoh dan Cara Menghitung BPHTB pada Tanah Warisan
- Cara Mudah Mengecek Legalitas Tanah untuk Dibangun Proyek Properti
mantab da…
Betul ini pak harus ada perjanjian melalui jalur hukum menggunakan Notaris. Oya pak mau tanya yang dimaksud tanah girik itu yang bagaimana ya ??
Bisa dilihat di sini:
https://asriman.com/cara-mengurus-sertifikat-dari-tanah-girik/
Ibu saya mempunyai 7 anak, bpk sdh meninggal, saat ini ingin menjual rmh, dan ingin membeli rmh baru utk menyambung hidupnya, 6 anak sdh menyetujui, 1 anak tdk menyetujui, kecuali diberikan 15 jt utk ttd tsb.
Pertanyaannya, apakah ttd persetujuan 6 anak sdh cukup?
Apakah ttd dr 1 anak yg tdk setuju ini mempunyai mental tdk sehat (krn stroke) masih diperlukan?
semua anak harus menyetujui untuk penjualan rumah tersebut. jika ada yng tidak bersedia menandatangani persetujuan maka penjualan tidak bisa dilakukan. jika ada yang kurang sehat secara mental maka harus dimintakan penetapan wali pengampu dari pengadilan. jika struk masih sehat secara mental harusnya