retensi kontrak

Dalam sebuah kontrak pelaksanaan pekerjaan terutama dalam pekerjaan proyek properti lazim adanya pasal retensi.

Pasal retensi ini mengandung pengertian bahwa ada pembayaran yang ditahan selama waktu tertentu setelah pekerjaan selesai seratus persen dan diserahterimakan. Masa pemeliharaan, begitu orang menamakan masa retensi ini. 

Lamanya masa pemeliharaan ini tergantung kesepakatan dalam kontrak atau SPK (surat perintah kerja).

Bisa 1 bulan, bisa 3 bulan bisa juga sampai 6 bulan bahkan lebih. Semuanya tergantung kesepakatan antara developer sebagai pemilik pekerjaan dan kontraktor sebagai penyedia jasa.

Bahkan ada juga kontrak yang disepakati lebih detil. Misalnya garansi kebocoran atap oleh kontraktor sampai dengan 1 tahun, atau setelah terlewatinya 1 kali musim penghujan.

Jadi jika ada kerusakan bangunan seperti atap bocor (dan kerusakan lainnya) selama masa retensi atau sejak serah terima maka hal itu menjadi tanggungjawab kontraktor memperbaikinya tanpa ada penambahan biaya oleh developer.

Baca juga: Lihat di sini materi dan jadwal workshop developer properti bagi pemula

Tujuan dibuatnya pasal retensi

Tujuan adanya retensi ini adalah supaya penyedia jasa bertanggungjawab terhadap pekerjaanya dan melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kontrak.

Karena jika terjadi kerusakan terhadap bangunan karena kesalahannya maka kerusakan itu menjadi tanggungjawabnya untuk memperbaikinya tanpa ada penambahan biaya oleh developer.

Sementara bagi developer, dengan adanya pasal retensi ini developer merasa lebih aman karena pekerjaan yang sudah diserahterimakan masih dijamin oleh penyedia jasa atau kontraktor dalam waktu tertentu.

Sehingga jika terjadi kerusakan, hal itu masih menjadi tanggungjawab kontraktor, baik dari sisi pengerjaan maupun biayanya.

Hal ini penting bagi developer karena setelah serah terima dengan kontraktor, selanjutnya developer akan menyerahterimakan dengan kepada konsumen.

Selanjutnya developer juga menjamin kepada konsumen bahwa jika terjadi kerusakan dalam waktu tertentu maka hal itu masih menjadi tanggungjawab developer.

Objek retensi

Pekerjaan yang menjadi objek retensi atau yang wajib diperbaiki oleh kontraktor ketika terjadi kerusakan adalah pekerjaan yang memang rusak karena kesalahan kontraktor.

Hal ini bisa diketahui setelah melihat spek teknis dan detil kontrak dan membandingkannya dengan pelaksanaan.

Maksudnya ketika terjadi kerusakan, developer dan kontraktor bersama-sama melakukan opname pekerjaan sehingga akan diketahui bagian mana yang mengalami kerusakan.

Dan pekerjaan mana yang pengerjaannya tidak sesuai dengan gambar kerja yang sudah disepakati dalam kontrak.

Sedangkan pekerjaan yang bukan karena kesalahan kontraktor tidak dapat dimasukkan ke dalam retensi. 

Misalnya terjadi keretakan struktur karena adanya gempa, maka atas kerusakan tersebut tidak dapat dimintakan tanggungjawab kepada kontraktor untuk memperbaikinya.

Dan harusnya kondisi seperti ini sudah dimasukkan ke dalam pasal-pasal kontrak tentang force majeure.

Karena bencana gempa termasuk dalam force majeure yang tidak dapat dimintakan tanggungjawab kepada siapapun.

Besarnya retensi

Sedangkan besarnya pembayaran yang ditahan ini berkisar lima persen sampai dengan sepuluh persen dari nilai kontrak.

Ketika pekerjaan sudah selesai seratus persen dan diserahterimakan dengan developer sebagai pemilik pekerjaan, maka pembayaran kepada penyedia jasa atau kontraktor baru sebesar sembilan puluh persen, bukan seratus persen sesuai bobot pekerjaan yang sudah diselesaikan.

Itu jika besarnya retensi yang disepakati adalah sepuluh persen. Dimana uang retensi ini dibayarkan nanti ketika masa retensi sudah berakhir dan tidak ada kerusakan terhadap hasil pekerjaan.

Jika terjadi kerusakan selama masa retensi maka kerusakan tersebut menjadi tanggungjawab kontraktor menyelesaikannya tanpa ada penambahan biaya oleh developer.

Jadi jika nilai kontrak pembangunan satu unit rumah adalah 300 juta, maka ketika pekerjaan selesai seluruhnya dan diserahterimakan kepada developer maka pembayaran kepada kontraktor hanya 270 juta. 

Sementara sebesar 30 juta lagi ditahan oleh developer sebagai jaminan jika terjadi kerusakan selama masa retensi.

Misalnya masa retensi adalah 3 bulan, maka uang retensi sebesar 30 juta akan dibayarkan developer kepada kontraktor setelah 3 bulan.

Contoh besarnya retensi tersebut bisa disesuaikan dengan kesepakatan antara developer dan kontraktor.

Berapapun besarnya retensi yang disepakati sah-sah saja selama kedua belah pihak menyetujui.

Dan itu tercantum semua dalam kontrak kerja.

Retensi dalam pencairan KPR oleh bank

Ada lagi jenis retensi yang disepakati antara bank pemberi kredit pemilikan rumah (KPR) dengan developer ketika pencairan KPR.

Retensi ini disepakati antara bank dan developer jika ada pekerjaan yang belum diselesaikan oleh developer terhadap unit rumah yang diakadkreditkan.

Pekerjaan yang belum diselesaikan tersebut biasaya adalah pekerjaan tentang legalitas tanah dan perizinan.

Retensi karena sertifikat masih induk 

Salah satu penyebab adanya retensi pencairan kredit dari bank kepada developer adalah karena sertifikat proyek masih sertifikat hak guna bangunan (SHGB) induk dan nama developer.

Sehingga bank tidak dapat menyimpan sertifikat tersebut sebagai jaminan karena belum berbentuk sertifikat atas unit rumah.

Solusinya adalah bank mewajibkan developer menyelesaikan pemecahan sertifikat tersebut melalui notaris yang ditunjuk dan berkerjasama dengan bank.

Kemungkinan lamanya waktu pengurusan splitzing sertifikat ini sekitar satu bulan sejak persyaratan dinyatakan lengkap oleh BPN. Bisa lebih cepat atau lebih lama tergantung pemenuhan persyaratan.

Di samping itu juga tergantung dengan banyaknya jumlah unit dalam permohonan pemecahan. Semakin banyak unit yang diajukan pemecahan maka waktunya juga semakin lama. Demikian sebaliknya.

Di samping ada juga kendala ‘non teknis’ yang sering terjadi dalam pelayanan publik di Indonesia, negara kita tercinta.

Kok bisa proses pemecahan sertifikat begitu lama?

Hal ini karena dalam proses pemecahan sertifikat ini petugas BPN akan mengukur ulang lokasi. Mengambil data lokasi dengan dengan teliti.

Lalu setelah mengambil data pengukuran ke lokasi, nantinya petugas ukur dari BPN ini akan memplotting-nya di peta khusus untuk pemetaan tanah.

Retensi karena PBG belum selesai

pbg persetujuan bangunan gedung

Bank juga berhak menahan pembayaran uang akad kredit kepada developer jika ada perizinan yang belum diselesaikan oleh developer.

Jika dulu perizinan dalam bentuk ijin mendirikan bangunan (IMB), tetapi saat ini karena berlakunya UU No. 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja IMB diubah menjadi PBG (Persetujuan Bangunan Gedung).

Jika dulu pengurusan persinan dalam bentuk IMB dilakukan di pemerintah daerah setempat melalui Dinas Penanaman Modal Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), sekarang pengurusan PBG dilakukan secara daring melalui internet di website hxxps://simbg.pu.go.id 

Caranya simpel, buka website di atas, buat akun dan nanti akan diarahkan dan dipandu dalam pengajuan PBG.

Kondisi yang mungkin terjadi sehingga PBG belum bisa terbit adalah persyaratan PBG sudah terpenuhi semua, dan sudah ada notifikasi tentang PBG akan diperoleh tetapi karena sesuatu hal PBG belum bisa terbit.

Dengan adanya notifikasi dari sistem bahwa semua persyaratan sudah terpenuhi, maka bank harusnya sudah bisa melakukan akad kredit. Karena pada tahapan ini, PBG sudah pasti didapatkan.

Hanya saja karena sesuatu hal, misalnya daerah tersebut belum memiliki peraturan daerah (Perda) tentang PBG terutama tentang retribusi, sehingga PBG belum bisa diterbitkan. (seperti saat ini, medio 2022)

Retensi sampai baliknama sertifikat dan pemasangan HT

Retensi pencairan KPR selanjutnya bisa jadi karena bank mewajibkan developer melalui notaris yang ditunjuk, menyelesaikan baliknama sertifikat rumah yang diakadkan ke atas nama konsumen.

Termasuk dalam kegiatan ini memasang hak tanggungan (HT) terjadap sertifikat tersebut di kantor pertanahan setempat.

Pemasangan hak tanggungan ini bertujuan untuk mencatatkan pemberian hak tanggungan dalam sertifikatnya.

Artinya objek tersebut menanggung hutang pemiliknya. Begitulah pemahaman mudah terhadap hak tanggungan ini.

Masa retensi baliknama dan pemasangan HT ini mengikuti syarat pekerjaan, bukan syarat waktu.

Maksudnya jika baliknama dan pemasangan HT sudah selesai dalam waktu 1 bulan maka developer bisa mengajukan pencairan retensi.

Sebaliknya jika waktu berjalan sudah 2 bulan atau lebih, sementara pekerjaan baliknama sertifikat belum selesai, maka bank tidak dapat mencairkan uang retensi tersebut.

Syarat wajibnya adalah baliknama dan pemasangan HT sudah selesai sehingga bank dapat menyimpan sertifikat atas rumah yang diakadkreditkan beserta dengan sertifikat hak tanggungan dan mencatatkan sebagai aset dalam pembukuan bank.

Lihat artikel lainnya:
Pentingnya Pasal Retensi Dalam Sebuah Kontrak Dengan Pemborong
Tagged on:                     

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×

Hallo...!

Workshop Cara Benar Memulai Bisnis Developer Properti Bagi Pemula akan diadakan tanggal 20-21 Januari 2024 di Jakarta

× Info Workshop Developer Properti