Beberapa hari belakangan saya sering menerima konsultasi dari alumni workshop developer properti yang saya adakan. Isinya kira-kira begini;
“Pak saya ada permintaan rumah 500 unit ready stock di area Jawa Barat, lokasinya terserah. Nanti jika sukses akan ada lagi permintaan ribuan unit di seluruh Indonesia”.
Sekilas ini sangat menggiurkan, bayangkan jika kita sedang mengembangkan sebuah proyek properti yang pembelinya sudah ada.
Jika pembeli proyek sudah ada maka proyek pasti akan sukses. Karena ujung tombak kesuksesan sebuah proyek properti ya pembeli.
Tapi tak lama kemudian ada lagi yang WA saya tentang permintaan rumah ready stock, kira-kira redaksionalnya sama. Setelah itu ada lagi.
Wah, saya hanya senyum sendiri, kenapa? Karena saya yakin pangkal bala-nya adalah orang yang sama. Satu orang. Lalu menyebar. Hal-hal seperti ini memang sering datang ke orang baru di dunia properti.
Karena orang lama, atau developer yang sudah mapan ngga mau melayani hal yang beginian. Bagi mereka, kalau mau beli rumah ya ikutin prosedur perusahaan.
Kasi DP dulu, lalu dibangunkan rumahnya. Prosedur standar-lah. Atau mungkin saja dulu ketika memulai sudah melalui dan menerima penawaran-penawaran seperti ini.
Dan hasilnya? Ribet! Kalau memang ada. Atau lebih sering permintaan seperti ini adalah halu, alias uka-uka.
Dulu, ketika developer masih sedikit memang banyak permintaan rumah dari suatu instansi, seperti Deplu, Kejaksaan, Pemda, Depdagri dan lain-lain.
Tapi deal-nya biasanya di tingkat atas. Dan bukan rumah ready stock. Saya kenal beberapa orang yang pernah melakukan itu.
Nah, sekarang kita lihat apa sebabnya permintaan rumah ready 500 unit ini tidak mungkin. Sekurangnya tidak mungkin dipenuhi oleh developer.
Pertama; apa mungkin orang yang akan membeli rumah lokasinya terserah? Yang penting di provinsi Jawa Barat, misalnya. Atau di propinsi Jawa Tengah.
Lalu yang mau beli ini hanya sekedar beli rumah? Ngga kerja di suatu tempat? Atau tempat kerjanya yang dipindah ke deket rumah?. Ini pertanyaan-pertanyaan unik yang menggelitik.
Kedua; permintaan rumah ready stock saat ini berat sekali bagi pengembang. Kalau mau dibilang tidak mungkin. Apa ada pengembang yang membangun rumah 500 unit secara ready stock? Tanpa ada kepastian pembeli lebih dahulu.
Saya fikir ini ngga mungkin lah. Untuk membangun rumah 500 unit butuh uang 50 milyar rupiah. Jika biaya membangun rumah tersebut 100 juta per-unit untuk tipe kecil non subsidi.
Ketiga; jikapun memang ada permintaan rumah dari suatu instansi, secara kolektif, biasanya banyak syaratnya.
Seperti fee untuk orang dalam, fee untuk den bagus, fee untuk si A, fee untuk si B. Ini sebenarnya boleh-boleh saja, anggaplah ini biaya marketing. Tetapi dengan jumlah yang wajar lho ya.
Kalau permintaannya tidak wajar piye. Mereka makan daging ayam, developer kebagian makan telor. Lama-lama developer kan bisa mencret tanpa asupan daging.
Lihat artikel lainnya:- Belajar Marketing Dari Sang Owner
- [TRUE STORY] Seni Negosiasi Dari Investor Kaya
- Sampai Dimana Komitmen Mu?
- Show Me Your Friends, I Will Show You Your Future!
- Kapan Sebaiknya Dimulai Pemasaran Proyek Properti?
- Harga Tanahnya Sudah 1,5 Juta/M2, Berapa Harga Jual Rumah Nantinya?
- Wajib Baca Untuk Anda yang Sering Terima Penawaran Takeover Proyek
- [TRUE STORY] Jangan Anggap Remeh Legalitas Proyek
- Bisnis Properti yang Menciptakan Kekayaan
- Pak Bagaimana Cara Memulai Sebuah Proyek Properti?
- Ini Dia Halangan Menjadi Developer Properti Bagi Pemula
- Kapan Waktu Ideal untuk Memulai Pemasaran Proyek Perumahan?
- Suksesku Membahagiakanmu Saudaraku
- Cerita Sukses Seorang Developer Pribadi
- [TRUE STORY] Tanahnya Lebih Jauh, Tapi Harganya Lebih Mahal. Lupakan Saja