Penyaluran subsidi untuk pelaku UKM rendah

Selama tahun 2022, realisasi penjualan rumah dari konsumen pelaku UKM (Usaha Kecil Menengah) sangat rendah. Dimana mayoritas pelaku UKM mengambil rumah dengan skema KPR Subsidi.

Berdasarkan catatan BP TAPERA (Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat) per 9 Desember 2022 realisasi penyaluran rumah subsidi untuk pelaku UKM sepanjang tahun 2022 hanya 4%.

Jika realisasi rumah subsidi di tahun 2022 sebanyak 200.000 unit, berarti hanya sekitar 8.000 unit rumah yang teralisasi.

Realisasi ini tentu sangat rendah dibanding tahun 2021 sebesar 12%. Demikian juga Jika diambil rata-rata tahunan selama 10 tahun terakhir juga lebih rendah yaitu 9%.

Skema BP2BT tidak maksimal

Rendahnya realisasi penyaluran subsidi di tahun 2022 untuk pelaku UKM (Usaha Kecil Menengah) berasal dari tidak maksimalnya skema BP2BT (Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan).

Skema BP2BT sebagai satu-satunya saluran untuk rumah subsidi bagi pelaku UKM tidak menarik bagi pelaku UKM sendiri.

Kurang menariknya bagi pelaku UKM adalah skema bunga bank yang berpotensi ketidakpastian atas suku bunga yang ditetapkan di masa yang akan datang.

Meskipun kredit yang diajukan lebih kecil dari skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan). Pelaku UKM lebih membaca resiko kenaikan suku bunga dibandingkan fasilitas bantuan uang muka ssampai dengan Rp40 juta.

Lihat di sini jadwal workshop developer properti

Pengembang kurang tertarik dengan skema BP2BT

Ketidakberhasilan skema BP2BT untuk konsumen pelaku UKM juga disebabkan oleh sebagian pengembang yang tidak antusias memasarkannya.

Dengan skema BP2BT, meskipun konsumen menerima bantuan uang muka sampai dengan Rp40 juta, bagi developer pencairan bantuan uang muka tersebut memakan waktu terlalu lama.

Sementara developer dihadapkan pada kewajiban pihak ketika setelah akad seperti membayar pemborong atau membayar cicilan modal kerja konstruksi.

Bahkan ada developer yang tidak bersedia melakukan akad KPR (Kredit Pemilikan Rumah) subsidi dengan skema BP2BT dengan alasan setelah akad justru nombok kas.

Hasil pencairan akad KPR di luar dana bantuan Rp40 juta dari BP2BT tidak cukup untuk menutup kewajiban cicilan modal kerja dan kewajiban lainnya.

Tahun 2023, skema pembiayaan subsidi kembali ke kittah

Seiring berakhirnya program BP2BT di tahun 2022 dan belum adanya rencana lanjutan di tahun 2023, direncanakan penyaluran rumah subsidi untuk pelaku UKM akan digabungkan kembali ke skema FLPP. Hal ini tentu sangat disambut antusias oleh developer.

Demikian juga bagi pelaku UKM sendiri. Keraguan atas bunga pasar jika menggunakan skema BP2BT diganti dengan bunga tetap sampai akhir masa pinjaman. 

Target penyaluran subsidi perumahan di tahun 2023

Berdaskan pemaparan kementrian PUPR, direncanakan tahun 2023 KPR subsidi bisa diserap pelaku UKM minimal sampai dengan 50.000 unit rumah.

Dengan target yang sangat besar ini, tentu banyak hal harus dilakukan seluruh stakeholder sehingga target bisa tercapai.

Hal ini mengingat persoalan klasik UKM dalam kepentingannya dengan perbankan yaitu mayoritas UKM adalah nonfeasible atau feasible tapi nonbankable.

Banyak UKM tidak mampu memenuhi persyaratan minimal dari perbankan. Relaksasi atau kelonggaran pada batas-batas aman bank perlu didiskusikan. 

Kendala regulasi

Dari sisi regulasi, developer masih berkutat pada 2 hal yaitu persoalan perijinan khususnya PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) dan keterbatasan lahan akibat penetapan LSD (Lahan Sawah Dilindungi). 

Pada persoalan PBG, masih banyak Pemerintah Daerah (Pemda) yang gagap atau belum bisa merealisasikannya.

Sangat dibutuhkan relaksasi kebijakan pada persoalan ini. Disamping belum siap, developer juga dihadapkan pada mahalnya biaya perijinan mengurus PBG ini.

Pelibatan tenaga ahli dalam pengurusan PBG yang maksudnya adalah baik yaitu menjaga mutu bangunan, namun berdampak tingginya biaya yang harus dikeluarkan.

Rata-rata developer harus mengeluarkan anggaran 2 atau 3 kali lipat dibanding dengan skema IMB (Izin Mendirikan Bangunan).

Jika dulu ketika masih menggunakan IMB, untuk lahan 1 ha, total anggaran termasuk pecahan IMB, developer kurang lebih mengeluarkan anggaran Rp50 juta.

Dengan PPB, realisasi total anggaran bisa sampai Rp200 juta. Perlu kebijakan dari regulator yang bisa memaksa ongkos perijinan khususnya untuk rumah subsidi ini menjadi lebih murah.

Mungkin semacam batas maksimal atau harga maksimal tertinggi untuk jasa konsultan. Hal ini kita punya pengalaman pada jasa notaris untuk akad rumah subsidi.

Dengan niat besar mendukung rakyat MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) atas kebutuhan rumah, jasa notaris untuk akad rumah subsidi saat ini cukup murah dan terjangkau konsumen.

Lahan Sawah Dilindungi (LSD)

Regulasi baru berupa penetapan LSD juga merupakan kendala tersendiri bagi developer.

Tidak hanya developer yang baru mencari lahan, dimana lahan murah semakin sulit didapat, developer yang sudah mengantongi perijinan pun masih cemas atau was was, jika ternyata lahan tersebut masuk zona LSD. 

Demikian juga dari sisi pengembang. Akan melimpahnya potensi konsumen UKM di tahun 2023, harus didukung kesiapan unit yang akan diakadkan.

Mengingat rumah subsidi mewajibkan unit rumah ready stock dengan prasarana utama yang juga harus tersedia. 

Kesiapan mendukung konsumen UKM

Terakhir adalah kesiapan konsumen UKM dalam menyerap tawaran rumah subsidi dari pemerintah ini.

Dengan mayoritas pelaku UKM adalah nonfeasible atau feasible tapi nonbankable, diperlukan upgrade pelaku UKM agar menjadi feasible dan bankable.

Menjadikan pelaku UKM layak usaha dan layak dukungan perbankan tidak bisa sepenuhnya diserahkan ke pelaku UKM sendiri.

Pelaku UKM sudah sibuk dengan usahanya, sangat kecil untuk dimintakan membuat laporan keuangan.

Jangankan laporan keuangan, diminta membuat NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) atau keterangan usaha saja tidak mudah akan waktunya. 

Menjadi tugas developer, perbankan dan regulator agar pelaku UKM bisa di upgrade menjadi feasible dan bankable.

Menyerahkan sepenuhnya kepada pelaku UKM tentu kurang maksimal. Banyak UKM membatalkan membeli rumah karena tidak memiliki buku tabungan transaksi atau tidak sempat mengurus NPWP dan ijin usaha. Bahkan menyerah jika diminta membuat laporan keuangan usahanya. 

Dengan keterbatasan UKM menjadi feasible dan bankable, tentu program mendorong pelaku UKM memiliki rumah dengan target yang sangat tinggi ini bisa terkendala.

Diskusi bagaimana membantu UKM menjadi bankable sangat diperlukan.

Semoga bermanfaat,

Mandor Tomo | Waketum DEPRINDO

Lihat artikel lainnya:
Menyambut Booming Pasar Properti Dari Calon Konsumen Pelaku UKM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×

Hallo...!

Workshop Cara Benar Memulai Bisnis Developer Properti Bagi Pemula akan diadakan tanggal 20-21 Januari 2024 di Jakarta

× Info Workshop Developer Properti