Warning akan potensi resesi di tahun 2023 sudah banyak kita dengar. Dari sudut pandang makro atau ekonomi global menunjukan tanda-tanda terjadinya resesi menjadi sangat mungkin.
Indonesia sebagai negara dalam kelompok Emmerging Market yaitu negara dalam proses pertumbuhan mau tidak mau akan terdapak baik secara langsung atau tidak langsung.
Pelan tapi pasti, pemerintah kita sudah mulai mengantisipasi potensi resesi. Menaikan suku bunga untuk mengurangi uang beredar untuk menjaga inflasi dan menjaga nilai tukar rupiah, pelan tapi pasti sudah diputuskan otoritas.
Mengurangi subsidi dari membakar uang untuk belanja BBM masyarakat juga pilihan yang tepat dari sudut pandang ekonomi.
Apalagi jika pengurangan dana subsidi tersebut masih bisa dialihkan untuk subsidi yang bersifat stimulus atau perangsang ekonomi.
Mungkinkan Indonesia bertahan?
Jika resesi terjadi, apakah bangsa kita bisa bertahan?
Secara teori masih sangat bisa. Sumber daya yang dimiliki Indonesia sangat mungkin sebagai modal untuk bertahan.
Ketika resesi terjadi, semua negara bertahan dengan kekuatan sendiri-sendiri. Penghasil pangan akan mengurangi ekspor dan mengutamakan kebutuhan rakyatnya, demikian juga penghasil energi, sumber daya mineral, dan lain-lain.
Bangsa kita memiliki semua kecuali minyak bumi. Dengan posisi sebagai negara pengimpor minyak bumi, kita akan kelabakan ketika harga minyak bumi melambung.
Namun di luar itu, Indonesia akan menikmati surplus dari komoditas dan sumber daya mineral yang belum banyak di pakai di dalam negeri.
Stok masih lebih banyak untuk diekspor dengan harga melambung seperti batu bara, nikel, bouksit, timah, CPO, Rokok, Mie Instan, dan lain-lain. Ekspor barang-barang ini dengan harga surplus akan menutup minus belanja impor BBM.
Resesi berdampak terhadap kalangan menengah ke bawah
Banyak teori mengatakan dampak resesi akan sangat langsung dirasakan kalangan menengah dan bawah.
Namun krisis 2018 membuktikan kalangan bawah dan menengah pula yang akan menyelamatkan perekonomian dalam negeri.
Kalangan bawah dan menengah masih membutuhkan aneka barang untuk kebutuhan dasarnya. Tingkat kebutuhan yang tinggi inilah yang mendorong tingginya tingkat konsumsi masyarakat.
Dengan tingkat konsumsi yang tinggi, perputaran ekonomi dalam negeri akan menjadi penyelamat dari resesi.
Singkatnya, selama bangsa kita masih bisa dijaga tingkat konsumsinya, ekonomi akan selamat.
Orang kaya takut investasi, lebih banyak menyimpan uangnya di bank. Sebaliknya kalangan bawah justru akan terus berbelanja memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selama ada belanja, ekonomi akan selamat. Dari sudut ini, kita bisa memahami kenapa pemerintah menyalurkan subsidi uang tunai langsung ke kelas bawah. Tidak lain agar kelas bawah terus bisa belanja.
Utang luar negeri kita masih aman
Dari sisi utang luar negeri, kita sering dibawa ke opini bahaya. Utang luar negeri kita sudah terlalu tinggi, namun ini dibantah pemerintah.
Saya masih percaya penjelasan Menteri keuangan. Hutang kita besar karena kapasitas besar. Jangan hanya dilihat dari nilai-nya tapi dilihat dari kapasitasnya.
Jika dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB), rasio UL hanya 33%. Konsensus internasional, batas aman utang luar negeri adalah 60% dari PDB.
Dengan kata lain, jika utang luar negeri kita masih berkisar 6000 trilyun, kita masih bisa pinjam lagi sampai dengan 10.000 trilyun.
Banyak negara memiliki rasio utang luar negeri diatas 100% PDB. Negara inilah yang akan jatuh, bahkan tidak ada resesipun, ambruk. Dengan demikian, utang luar negeri RI tidak akan membawa resiko berlebihan jika terjadi resesi.
Masih adakah prospek bisnis properti di tahun 2023?
Kebutuhan properti negara kaya
Kebutuhan properti di negara-negara kaya seperti USA, Jepang atau Singapura berbeda dengan mayoritas di Indonesia.
Di negara kaya, belanja properti sudah menjadi kebutuhan skunder. Di negara kaya, semua orang sudah punya rumah atau tempat tinggal.
Belanja rumah yang ada adalah rumah kedua, ketiga bahkan ke empat. Mayoritas di negara kaya, belanja rumah untuk investasi, bukan kebutuhan dasar lagi.
Ketika krisis terjadi, bisnis properti di negara kaya adalah salah satu yang terdampak paling parah.
Di negara kaya, karena mayoritas sudah punya rumah, begitu krisis serta merta tidak akan belanja rumah lagi.
Demikian juga di negara kaya yang membeli rumah dengan KPR, begitu krisis, ya ngemplang aja, tidak bayak angsuran, mau disita yang santai saja, karena rumah kedua atau ketiga.
Ingat krisis 2008, ditandai jatuhnya Lehman Brothers, lembaga keuangan yang banyak membiayai KPR rumah kedua dan ketiga di USA.
Ketika ekonomi USA terguncang, serta merta semua nasabahnya tidak bayar KPR-nya. Penyitaan dimana-mana, namun setelah disita tidak ada yang mengambil lelang rumah sitaan.
Kenapa? Karena semua orang di USA sudah punya rumah. Bisa jadi semua orang rumah keduanya disita, yang mau beli tidak ada lagi atau sangat sedikit.
Kebutuhan properti di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Backlog kebutuhan rumah sebagai kebutuhan dasar masih sangat tinggi.
Menurut Direktur Riset Core Indonesia, Piter Abdullah, di Kompas.Com 15/08/2022, backlog kebutuhan rumah masih 12 juta rumah.
Saat ini bangsa kita hanya mampu membangun rumah baru dikisaran 500 ribu sampai dengan 800 ribu unit rumah per-tahun.
Sebelum ada skema subsisi FLPP bahkan hanya dikisaran 300 ribu rumah pertahun. Jika bangsa kita bisa membuat rumah rata-rata per tahun 1 juta rumah seperti cita-cita presiden Jokowi, masih butuh 12 tahun kebutuhan rumah ini akan terpenuhi.
Dengan tambahan generasi selanjutnya bisa lebih dari 15 tahun kebutuhan rumah baru terpenuhi.
Kebutuhan 1 juta rumah pertahun di Indonesia adalah kebutuhan dasar, bukan skunder seperti di negara besar.
Sesulit apapun perekonomian, orang tetap butuh rumah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Meskipun laju akan menurun, bukan berarti mati dan tidak ada serapan.
Dukungan pemerintah dengan rumah subsidi menjadi salah satu faktor selamatnya bisnis properti. Sebagai developer dari sisi bisnis, kita harus memejamkan mata jika pemerintah mengurangi subsidi BBM dan listrik. Asal dananya dialihkan salah satunya subsidi ke perumahan.
Sebagaimana kita pahami, properti salah satu bisnis yang membawa gerbong system perekonomian sangat banyak.
Bisnis properti berhubungan dengan banyak bisnis lainnya
Properti menghidupkan lebih dari 112 jenis usaha mulai dari kebutuhan tukang, material, toko bangunan, pabrik semen, pengrajin bata merah, pabrik gentang, keramik, kunci, toilet, pasir, baja ringan hingga jasa notaris, appraisal, calo tanah, dan lain-lain.
Demikian juga sebaliknya, ketika bisnis properti hancur, dampak mata rantai bisnis lainnya akan berantakan, perekonomian hancur, mempercepat resesi.
Pemerintah berkepentingan menjaga iklim bisnis properti
Dari sudut pandang ini, saya yakin pemerintah tidak akan mengorbankan hancurnya bisnis properti. Jutaan rumah tangga yang belum memiliki rumah akan didorong untuk bisa beli rumah, aneka subsidi akan terus digelontorkan.
Tidak hanya rumah subsidi, rumah komersial pun akan dapat potensi subsidi seperti pembebasan PPN (Pajak Pertambahan Nilai), dan lain-lain. Sumber dana subsidi adalah hasil pengurangan subsidi BBM dan listrik.
Demikian juga dari sisi rongga rasio utang luar negeri. Sebagai developer kita termasuk yang menikmati dampak hutang luar negeri.
Secara langsung melalui skema APBN, developer menikmati subsidi FLPP, dan melalui pinjaman Bank Dunia kita menikmati subsidi BP2BT.
Secara tidak langsung rumah komersial menikmati subsidi selisih PPN atau pembebasan PPN.
Sedikit guyon, developer adalah pihak yang tidak pantas protes atas penarikan subsidi BBM dan peningkatan pinjaman luar negeri, sedikit banyak justru developer adalah pihak yang banyak menerima manfaat atas naiknya harga BBM dan utang luar negeri tersebut.
Mitigasi resiko bisnis properti di tahun 2023
Meskipun tulisan di atas adalah skema optimis yang saya sampaikan, bukan berarti bisnis properti di tahun 2023 tidak ada resiko.
Dengan kenaikan harga termasuk bahan baku industri, tidak serta merta pengusaha mampu menaikan tingkat upah.
Kenaikan harga termasuk suku bunga mendorong konsumsi melambat. Termasuk belanja atau membeli rumah. Mencermati hal ini, sebagai developer kita harus jeli mengambil kebijakan bisnis propertinya. Beberapa pilihan kebijakan antara lain;
Menunda belanja lahan berlebihan
Mengekang ekspansi berlebihan dalam belanja tanah harus sudah diperhitungkan. Kita pahami, bisnis properti dalam skala kawasan, penjualan real baru terjadi di 1 atau 2 tahun kedepan.
Dengan potensi resesi, target penjualan bisa akan menurun. Belanja tanah masih dipertimbangkan jika ada captive market yang jelas, atau memiliki modal berlebih dimana belanja lahan sementera dianggap sebagai investasi jangka panjang.
Menunda pembangunan ready stok berlebihan
Bangun unit rumah dalam jumlah proporsional dengan penjualan. Jika baru terjadi pemesanan 2 unit, cukup bangun 3 atau 5 unit. Jangan paksakan membangun unit berlebih.
Fokus kejar sarana dasar dan hindari pembangunan sarana berlebihan
Sarana dasar seperti listrik, air, jalan lingkungan lebih diprioritaskan. Jika bukan kepentingan utama, bisa saja kita tunda pembangunan gerbang mewah, pagar keliling seluruh lahan, dan lain-lain.
Demikian juga sarana jalan, jangan paksakan keseluruhan jalan kita bangun. Cukup pada unit-unit siap jual.
Fokus bangun dan jual per blok
Jika lahan kita luas, jangan terima permintaan konsumen memilih unit blok sesukanya. Arahkan konsumen pada unit-unit pada 1 blok tertentu yang sudah kita tentukan.
Fokuskan penjualan dan pembangunan pada blok tersebut. Dengan fokus pada 1 blok, kita akan banyak berhemat pada pembangunan infrakstruktur dan sarana dasar
Kejar penuntasan legalitas
Penjualan rumah mayoritas menggunakan skema KPR Bank. Bank mensyaratkan legalitas tuntas seperti sertifkat dan PBG (Persetujuan Bangunan Gedung). Jangan sampai, pada posisi banyak pembeli di masa resesi, kita gagal transaksi karena legalitas belum beres.
Disiplin cashflow
Daya beli yang akan menurun berdampak rendahnya uang tanda jadi, uang muka dan KPR yang akan kita terima dari penjualan.
Prioritaskan penggunaan kas pada pekerjaan penting dan berdampak penjualan. Tunda pembangunan taman, tunda pagar keliling, tunda pembangunan pos sekuriti, bahkan tunda perapihan bisa jadi pilihan.
Kita fokuskan dana yang ada untuk penyelesaian legalitas dan fisik bangunan.
Pada properti komersial, syarat utama terjadinya dukungan KPR sudah cukup unit ready. Meskipun belum ada listrik, jalan masih hancur, gerbang belum jadi, Bank masih bisa dukung realisasi KPR konsumen.
Disipilin cashflow juga pada hal-hal yang tidak penting. Tunda jamuan-jamuan dan pertemuan tidak penting. Kurangi gaya big boss, kurangi perjalanan jauh tidak penting, kurangi traktir berlebihan, dan lain-lain.
Gunakan dengan bijak dana pinjaman
Jika proyek kita didukung pinjaman modal kerja dari bank. Bijak dalam penggunaan dana menjadi sangat penting.
Cairkan yang sekiranya diperlukan. Jika tidak terpakai, pilihan menggembalikan pokok bisa jadi hal yang bijak.
Ajukan perubahan skema pinjaman modal kerja non revolving menjadi revolving (PRK) ke bank dimana kita dapat pinjaman.
Fokuskan dana bank untuk penyelesaian fisik unit rumah dan biaya legalitas. Di saat krisis terjadi, unit rumah menjadi siap jual sehingga kewajiban bank bisa kita bayar.
Teliti kembali RAB (Rencana Anggaran Biaya)
Cek kembali rencana anggaran dan biaya yang ada. Teliti kembali harga-harga yang pernah kita tetapkan.
Lakukan penyesuaian penyesuaian dengan harga baru. Dengan RAB yang detail akan menghasilkan data dalam pengambilan keputusan bisnis kita.
Jangan tunda peluang penjualan, meski harus memberikan discount
Dalam bisnis properti, berapa keuntungan yang akan kita ambil pada dasarnya berpulang ke diri kita.
Mau untung besar dalam masa resesi tapi tidak terealisasi, atau kita bijak mengurangi keuntungan tapi bisnis tetap berjalan.
Tidak perlu pusing BPHTB beban siapa, biaya notaris beban siapa, jika masih ada untung meski sedikit, bisa saja beban ini kita tanggung, jika perlu beban uang muka dan biaya KPR kita tanggung.
Jualan laris dengan aneka discount lebih direkomendasikan. Pada masa resesi pemengang cash adalah raja.
Terus belajar, gunakan mentor untuk pemula.
Untuk developer pemula, jangan percaya diri berlebihan. Terus belajar, rajin mencari informasi hukumnya wajib.
Belajar dan banyak bertanyalah ketika baru atau awal memulai. Buang jauh-jauh rasa malu karena gagal atau belum berhasil. Banyak developer pemula yang salah atau gagal hanya karena ketidak tahuan di awal.
Cari mentor untuk mendampingi proyek perdana. Sebagai contoh, Namanya rumah subsidi, rumah di depan dengan dibelakang harganya sama.
Jika kita belajar dan ada pendamping, kita akan diingatkan jangan jual belakang dulu, jualan unit paling depan dulu.
Jangan pelit berbagi
Pelit tidak hanya dari sisi sosial yang bernilai ibadah. Adakalanya tanpa sadar kita pelit dalam menjalankan bisnis properti.
Jangan pelit kepada kontraktor karena akan berdampak terlambatnya pembangunan. Jangan pelit berbagi dengan anak buah ketika kita memperoleh keuntungan.
Dengan anak buah yang sejahtera akan mendorong penjualan berikutnya. Jangan pelit pada sales dan agen penjualan.
Jika fee 5% bisa mendongkrak penjualan, lakukan saja fee besar, sepanjang masih untung, jangan ragu.
Pelitnya kita berbagi fee ke agen, akan menahan agen men-supply konsumen ke proyek kita.
Jangan pelit dan berbagilah dengan pihak-pihak yang mendorong lancarnya proyek kita.
Ke arsitek, konsultan, lingkungan proyek, berbagilah, dimasa sulit jika kita lakukan, bagi lingkungan kita akan sangat bermakna. Hormat dan respek mereka akan mendorong penjualan, langsung atau tidak langsung.
Profesionallah pada hal-hal yang bersifat profesional. Bayar temen arsitek yang telah membantu gambar rumah kita. Sediakan anggaran pada pihak-pihak yang membantu kita.
Kurangi eksperimen dan banyak gaya
Jika proyek masih dalam perencanaan, kurangi rencana-rencana eksperimen atas proyek kita.
Apalagi untuk pemula, ikuti tren pasar yang ada. Jangan memaksakan diri pada hal-hal tidak logis.
Masih sering kita jumpai, proyek perumahan di jalan kecil, pada bagian muka dipaksa ada ruko atau kios. Yakinlah kios itu tidak akan ada yang beli sampai perumahannya penuh.
Bahkan pernah saya temui perencanaan kawasan 2 hektar, pada bagian tengah terdapat rencana foodcourt. Yakinkah foodcourt efektif?
Siapa yang akan makan di situ, kecuali 200 rumah sudah terhuni. Prakteknya hampir semua ruko/kios/foodcourt di lahan kurang dari 5 ha secara umum gagal. Mungkin kalau lahan kita 50 ha, bisa saja ide ini dilanjutkan.
Semoga bermanfaat
Penulis: Mandor Tomo | Waketum DEPRINDO
Lihat artikel lainnya:- Imbas Kenaikan Suku Bunga dan Harga BBM Pada Industri Properti
- Tahun 2023 Anggaran Subsidi Perumahan Rp30,38 Trilyun Terbanyak Sepanjang Sejarah
- Menawarkan Proyek Properti Ke Investor, Hal-Hal Yang Harus Dipahami
- Program Subsidi BP2BT Dihapus
- Langkah Mudah Memulai Bisnis Developer Properti Yang Bisa Anda Praktekkan
- Begini Siklus Bisnis Properti di Indonesia
- Pentingnya Perencanaan Arus Kas (Cashflow) Pada Proyek Modal Pas-Pasan
- Dampak Tapering Off The Fed Pada Bisnis Properti Di Indonesia
- MANTAP! Karyawan Kontrak Sudah Bisa Dapat KPR
- Mencermati Dampak Kuota FLPP Yang Terbatas
- Apa Beda Program FLPP, BP2BT Dan Subsidi Selisih Bunga KPR?
- Apakah yang Dimaksud Dengan RPC?
- Mengapa Sulit Mencari Investor?
- Perlunya Mentalitas Matang Untuk Sukses di Bisnis Developer Properti
- Mengapa Harga Properti Naik terus?