Ada beberapa langkah yang harus dilalui seorang developer dalam mengakuisi lahan atau membeli tanah. Langkah pertama adalah membeli tanah dari penduduk, kemudian memohonkan sertifikat hak guna bangunan atas nama PT developer.

Lalu dilanjutkan dengan membuat perencanaan dan perijinan yang muaranya adalah pengesahan siteplan dan Ijin mendirikan Bangunan (IMB).

Setelah siteplan disahkan maka pekerjaan developer selanjutnya adalah mengajukan pemecahan sertifikat sesuai dengan siteplan yang sudah disetujui tersebut.

Membeli lahan dari penduduk

Ketika membeli lahan dari penduduk, kondisi lahannya mungkin saja masih berupa tanah sawah, rawa-rawa, bekas pemancingan atau empang. Tanah seperti ini banyak terdapat di daerah yang masih sepi. Sehingga masih banyak terdapat tanah kosong.

Untuk tanah-tanah seperti ini developer membutuhkan pekerjaan persiapan untuk dapat dibangun proyek properti. Besarnya pekerjaan persiapan tergantung kondisinya.

Pekerjaan yang wajib umumnya adalah melakukan pengurugan supaya lokasi rapi dan siap bangun. Jika dibutuhkan pekerjaan pengurugan maka konsekuensi yang harus ditanggung adalah adanya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengurugan.

Biaya pengurugan ini berbeda-beda untuk tiap daerah. Karena variabel yang mempengaruhi biaya pengurugan adalah jauh atau dekatnya lokasi proyek dengan lokasi pengambilan material pengurugan.

Jika lokasi material pengurugan cukup dekat maka biaya pengurugan juga murah begitu juga jika lokasi jauh dari tempat material maka biaya pengurugan  cukup mahal karena biaya transportasi material yang juga mahal.

Biaya pengurugan dihitung perkubik (m3). Besarnya bervariasi antara 35.000 sampai dengan 110.000 per-m3.

Satu lagi faktor yang mempengaruhi besarnya biaya pengurugan adalah mutu material urugnya. Jika tanah yang dipilih adalah tanah merah dan bagus maka biaya lebih mahal jika dibandingkan dengan material urug dari tanah biasa atau bekas puing bangunan.

Tidak hanya kondisi fisik tanah, kondisi legalitas kepemilikan lahanpun beragam, ada yang sudah Sertifikat, Tanah Garapan, Girik, masih Berupa Akta Jual Beli (AJB), Eigendom Verponding atau bentuk kepemilikan tanah lainnya.

Tanah yang sudah bersertifikat untuk dijadikan proyek properti

Tanah yang sudah bersertifikat lebih cepat untuk dibangun proyek properti karena bisa langsung diajukan perijinan ke instansi terkait. Saat ini perijinan diajukan cukup ke satu lokasi saja yaitu Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang ada di tiap daerah. Cukup simpel dan cepat.

Selain itu jika tanah yang sudah bersertifikat dibangun proyek properti, maka kita akan lebih mudah menjual karena konsumen merasa akan aman secara legalitas. Karena sifat sertifikat itu adalah, hanya nama di sertifikat yang berhak atas tanah atau bangunan tersebut.

Selanjutnya, tanah yang sudah sertifikat juga mudah memperoleh pembiayaan dari lembaga pembiayaan. Tidakpun ketika membangun, lembaga pembiyaan amat senang jika ada konsumen yang akan membeli rumah dengan bantuan Kredit Pemilikan Ruman (KPR).

Tanah garapan yang akan dijadikan proyek oleh developer

Jika tanahnya masih berupa tanah garapan atau belum bersertifikat, maka langkah pertama yang harus dilakukan jika tanah tersebut akan dijadikan proyek properti adalah dengan mengurus sertifikatnya terlebih dahulu.

Setelah sertifikat tanah diurus barulah bisa diajukan perijinan, mulai dari ijin lokasi, pengesahan siteplan sampai dengan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).

Pengurusan sertifikat tanah dari tanah garapan dimulai dengan mengurusnya di kantor kelurahan atau kantor desa setempat. Lurah atau kepala desa akan mengeluarkan beberapa surat seperti yang disyaratkan oleh peraturan ketika akan mengurus sertifikat tanah dari tanah garapan.

Beberapa surat yang diperlukan adalah surat keterangan tidak sengketa dan rekomendasi permohonan sertifikat. Lainnya, surat yang diperlukan adalah surat keterangan penguasaan tanah oleh si pemohon.

Tanah girik akan dijadikan proyek properti

Saat ini masih banyak tanah di Indonesia yang masih beralaskan hak berupa girik atau yang dikenal sebagai hak milik tanah adat. 

Sama dengan jenis tanah yang belum bersertifikat lainnya, tanah girik ini harus diajukan permohonan hak terlebih dahulu jika ingin dikembangkan menjadi proyek properti.

Pengurusan tanah girik menjadi sertifikat akan langsung diberikan sertifikat hak milik (SHM). Dimana pengurusannya di tahap awal adalah dengan mengurus beberapa surat di kantor kelurahan atau desa.

Surat pertama yang diperlukan adalah surat keterangan kepemilikan tanah atau penguasaan tanah secara sporadik. Surat ini dikeluarkan oleh lurah atau kepala desa dan diketahui oleh camat.

Selanjutnya adalah surat keterangan tidak sengketa, juga ditandatangani oleh lurah dan kepala desa dan diketahui oleh camat.

Lainnya, yang diperlukan adalah surat keterangan riwayat tanah, yang menyatakan riwayat kepemilikan tanah tersebut sejak awal sampai dengan sekarang ini.

Sehingga pemilik sekarang amat jelas sejarah kepemilikannya. Kepemilikan tersebut tidak boleh terputus, jika terputus maka pemohon sekarang tidak sah sebagai pemilik tanah tersebut.

Tanah eigendom verponding jika akan dijadikan proyek properti

Tanah yang masih berupa eigendom verponding jika ingin dijadikan proyek juga harus dimohonkan sertifikat terlebih dahulu.

Permohonan eigendom verponding dilakukan di kantor Badan Pertanhan Nasional (BPN) setempat.

Untuk pengurusan tanah, baik dari tanah garapan, girik atau eigendom verponding harus dilengkapi dengan data-data pemohon sertifikat dan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) dan bukti pembayarannya.

Akta Jual Beli, Akta Pelepasan Hak dan Surat Pelepasan Hak

Pada prakteknya pembelian tanah kepada masyarakat bisa dengan Akta Jual Beli yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT dan bisa juga dengan Akta Pelepasan atau Pengoperan Hak yang dibuat di hadapan Notaris.

Lainnya peralihan hak atas tanah juga bisa dengan Surat Pelepasan Hak (SPH) yang dibuat di hadapan kepala kantor pertanahan setempat.

AJB dibuat untuk tanah-tanah yang sudah sertifikat selain Sertifikat Hak Milik (SHM) seperti Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai dan lain-lain.

Sedangkan Akta Pelepasan atau Akta Pengoperan Hak dan Surat Pelepasan Hak dibuat untuk tanah-tanah yang belum bersertifikat seperti Girik, Tanah Garapan, Eigendom Verponding dan jenis tanah yang belum sertifikat lainnya.

PT tidak boleh membeli tanah SHM

Khusus untuk tanah Sertifikat Hak Milik apabila akan dibeli oleh developer (dalam bentuk Perseroan Terbatas atau PT) maka SHM tersebut harus dirubah terlebih dahulu menjadi HGB karena menurut UU No. 5 Tahun 1960 atau lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA sebuah PT tidak diperkenankan memiliki tanah dengan status SHM.

Setelah SHM berubah menjadi SHGB barulah bisa dibuatkan AJB ke atas nama developer. Ketika pembuatan AJB ini akan timbul biaya-biaya dan pajak-pajak.

Diantara biaya-biaya tersebut adalah biaya Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), pajak penjual dalam bentuk PPh final yang menjadi kewajiban masyarakat pemilik tanah, pajak pembeli dalam bentuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dibayarkan bersamaan dengan biaya balik nama ketika mendaftarkan baliknama sertifikat di BPN.

Biaya BPHTB, PNBP dan biaya baliknama menjadi tanggungan PT sebagai pembeli.

Besarnya biaya masing-masing jenis pekerjaan tersebut sudah ada aturannya, kecuali biaya jasa seorang Notaris/PPAT yang berupa jasa. Sehingga besarnya bisa dinegosiasikan.

Kewajiban pembayaran biaya Notaris dan PPAT biasanya menjadi tanggungjawab bersama antara penjual dan pembeli.

Besarnya biaya Notaris dan PPAT tidak lebih dari 2% dari nilai objek yang ditransaksikan. Kebanyak Notaris/PPAT menetapkan biaya 1% untuk jasanya membuat akta jual beli atau akta pelepasan hak atau akta apapun berkaitan dengan peralihan hak atas tanah dan bangunan.

Teknis pembelian SHM oleh PT bisa juga dilakukan dengan Akta Pelepasah Hak atau Surat Pelepasan Hak dengan hak mendapatkan ganti rugi bagi pemilik SHM tersebut. Setelah itu PT memohonkan hak atas tanah untuk mendapatkan HGB.

Menggabungkan sertifikat ke atas nama PT

Langkah selanjutnya adalah PT menggabungkan sertifikat yang sudah atas nama PT tersebut yang masih berupa bidang-bidang tanah tidak teratur hasil membeli ke masing-masing pemilik tanah. Penggabungan ini dilakukan di Kantor Pertanahan setempat.

Jika tanahnya belum sertifikat, tetapi sudah ada akta pelepasan hak atau surat pelepasan hak kepada PT dari pemilik sebelumnya, maka PT memohonkan sertifikat hak guna bangunan induk sekali saja.

Setelah terbit sertifikat induk atau sertifikat digabung ke atas nama PT developer, maka langkah selanjutnya adalah PT mengajukan siteplan kepada Dinas Tata Ruang daerah setempat atau permohonan melalui PTSP. Dimana siteplan ini harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan peraturan daerah bersangkutan.

Pemecahan sertifikat sesuai siteplan yang sudah disahkan

Setelah siteplan disetujui selanjutnya developer mengajukan pemecahan sertifikat sesuai dengan siteplan yang sudah disahkan oleh Dinas Tata Ruang melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

Jika dalam siteplan tersebut terdapat 100 unit rumah maka sertifikat pecahan yang dikeluarkan oleh BPN juga 100 unit.

Pada sertifikat tersebut akan terlihat posisi masing-masing kaveling dan posisi fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum fasos) yang tidak termasuk dalam sertifikat.

Dengan demikian sertifikat sudah menjadi pecahan atas nama developer dan akan dibaliknama ke atas nama konsumen setelah terjadi jual beli.

Lihat artikel lainnya:
Panduan Cara Developer Mengakuisisi Lahan Sampai Pemecahan Sertifikat

One thought on “Panduan Cara Developer Mengakuisisi Lahan Sampai Pemecahan Sertifikat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×

Hallo...!

Workshop Cara Benar Memulai Bisnis Developer Properti Bagi Pemula akan diadakan tanggal 20-21 Januari 2024 di Jakarta

× Info Workshop Developer Properti