Untuk membeli tanah sawah yang sudah sertifikat hak milik atau SHM secara sebagian langkahnya amat sederhana.
Langkah yang harus dilakukan adalah pecah dulu sertifikatnya ke Badan Pertanahan Nasional atau BPN sesuai dengan luasan yang akan dibeli.
Misalnya luas tanah total adalah 12.000 m2 dibeli sebagian seluas 7.000 m2. Maka ajukan permohonan pemecahan sertifikat seluas 12.000 m2 dan 7.000 m2.
Dalam pemecahan sertifikat ini ada tiga langkah yang dilakukan oleh petugas BPN, yaitu mengukur tanah ke lokasi sesuai batas-batas pemecahan sertifikat.
Lalu setelah diukur nantinya hasil ukur tersebut akan dipetakan di bagian pemetaan. Output dari pengukuran ini akan menghasilkan Surat Ukur.
Dimana identitas surat ukur ini berupa nomor dan tanggal surat ukur tersebut disahkan oleh pejabat BPN.
Langkah selanjutnya adalah setelah surat ukur selesai maka dilanjutkan dengan proses pendaftaran SU tersebut untuk dibuat sertifikatnya.
Hasilnya adalah 2 buah sertifikat atas nama pemilik yang luasnya masing-masing 7.000 m2 dan 5.000 m2.
Baca juga: Ini jadwal workshop developer properti bagi pemula
Setelah pemecahan sertifikat selesai, maka ditandatangani akta jual beli untuk bidang tanah yang dijual yaitu seluas 7.000 m2.
Selanjutnya ajukan baliknama. Dengan selesainya baliknama maka proses jual beli sudah selesai.
Pajak-pajak dan biaya
Pajak-pajak yang harus dibayarkan dalam proses ini adalah pajak penghasilan (PPh) untuk menjual dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang menjadi kewajiban pembeli.
PPh besarnya adalah 2,5% dari nilai transaksi. Sementara BPHTB adalah 5% dari nilai transaksi setelah dikurangi dengan NPOPTKP atau Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak, yang besarnya rata-rata Rp60.000.000,- kecuali DKI Jakarta besarnya Rp80.000.000,-
Di samping ada kewajiban membayar pajak-pajak bagi penjual dan pembeli masih ada kewajiban biaya lainnya yaitu biaya akta dan baliknama.
Akta jual beli bervariasi besarnya menurut pejabat bersangkutan namun pemerintah membatasi besarnya maksimal 1% dari nilai transaksi.
Demikian juga biaya baliknama juga tergantung notaris, karena masing-masing notaris bisa menerapkan biaya baliknama berbeda-beda.
Karena untuk baliknama ini ada biaya wajib yang harus disetor ke negara dalam bentuk biaya pelayanan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Jika tanahnya masih menjadi jaminan hutang di bank
Jika tanahnya masih menjadi jaminan hutang di bank, maka hutang tersebut harus dilunasi terlebih dahulu barulah bisa diperjualbelikan.
Karena tanah masih menjadi jaminan hutang di bank maka sertifikat tanah tersebut sudah pasti ada di bank.
PPAT tidak bisa membuat AJB jika sertifikat tanah tidak ada di kantornya. Itu jelas diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Jika pembeli sepakat melunasi hutang penjual di bank
Solusi yang paling ideal adalah hutang di bank dilunasi terlebih dahulu, lalu sertifikatnya diambil dan selanjutnya dilakukan AJB ke pembeli.
Bagaimana jika si penjual tidak punya uang untuk melunasi hutangnya di bank? Untuk melunasi hutang di bank bisa dipergunakan uang dari calon pembeli terlebih dahulu.
Sebagai pengikat ditandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Anggaplah uang yang dipergunakan untuk melunasi hutang pemiliki di bank itu sebagai uang muka pembelian (DP).
Dengan catatan tentu saja hutang di bank ini lebih kecil dari harga total tanah yang akan diperjualbelikan.
Siapa yang mengambil sertifikat di bank?
Untuk pengambilan sertifikat di bank harus dilakukan secara bersama-sama; penjual, pembeli dan notaris.
Notaris perlu dihadirkan untuk menyimpan sertifikat ketika diambil dari bank.
Karena jika sertifikat diambil oleh penjual, maka hal ini tidak adil untuk pembeli. Karena ada kemungkinan pemilik berbuat curang.
Dia sudah memegang sertifikatnya, bisa saja dia menghilang. Jika ini terjadi maka pembeli rugi karena ia sudah mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar hutang si penjual.
Tidak ada yang bisa menjamin si penjual tidak berbuat curang, karena ada peluang untuk itu.
Selanjutnya jika sertifikat dipegang oleh pembeli maka hal ini juga tidak adil bagi penjual, karena ia belum menerima uang dari penjualan tanah miliknya.
Tetapi sertifikat atas tanahnya sudah dipegang orang lain. Bisa juga si pembeli berbuat curang, membawa kabur sertifikat tersebut.
Atau melakukan sesuatu yang curang terhadap sertifikat tersebut. Ya, itu mungkin saja.
Nah, untuk menjaga itu semua maka diperlukan Notaris sebagai penengah. Sebagai pengadil.
Jadi prosesnya, nanti setelah hutang dilunasi, sertifikat diambil oleh notaris. Tentu saja berdasarkan kuasa dari pemilik sertifikat.
Setelah sertifikat ada di kantor Notaris, maka Notaris nanti akan meroya sertifikat tersebut ke BPN agar catatan hak tanggungan dihapus karena hutang sudah lunas.
Setelah sertifikat diroya maka selanjutnya bisa diperjualbelikan seperti biasa.
Untuk proses ini langkah awalnya adalah memecah sertifikat sesuai luasan yang akan diperjualbelikan, lalu setelah selesai pemecahan sertifikat dilakukan AJB. Selesaiā¦
Lihat artikel lainnya:- Cara Memecah Sertifikat Tanah secara Pribadi
- Lebih Bagus Mana Pecah Sertifikat Dulu Atau AJB Dulu
- Bagaimana Cara Memecah Girik?
- Cara Memecah Tanah Girik Dan Memohonkan Sertifikat
- Bagaimana Memperpanjang HGB Yang Sudah Berakhir Tapi Pemilik Juga Sudah Meninggal?
- Cara Membeli Tanah Sebagian dan Memecah Sertifikat dari Sertifikat Induk
- Cara Mengurus Sertifikat dari Tanah Girik
- Cara Memohonkan Sertifikat Jika Tidak Ada Surat-Surat Tanah
- Apa yang Dimaksud Dengan Tanah Girik? Bagaimana Cara Mengurusnya Menjadi SHM?
- Cara Memecah SHM yang Luas dan Lebih Dari 5 Bidang Sekaligus
- Berapa Lama Proses Girik Menjadi Sertifikat
- Cara Meningkatkan Status Tanah HGB menjadi SHM
- Cara Mengurus Sertipikat Induk Atas Nama PT Dari SHM
- Perbedaan Antara Sertifikat Tanah Elektronik dan Sertifikat Manual
- Pengertian-Pengertian Pada PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah