Developer wajib mengakuisisi lahan

Mengakuisi lahan adalah langkah wajib yang musti dilakukan oleh sebuah perusahaan pengembang properti. Mengakuisisi lahan sama saja pengertiannya dengan membeli lahan. 

Lahan yang akan diakuisi adakalanya berbentuk Hak Guna Bangunan (HGB), Sertifikat Hak Milik (SHM), berupa girik atau mungkin saja tanahnya tidak memiliki surat-surat.

Nah, dalam artikel ini akan dibahas tentang langkah-langkah yang harus dilakukan oleh developer dalam mengakuisi lahan dalam bentuk berbagai jenis tersebut.

Langkah developer mengakuisisi lahan HGB

Mengakuisisi lahan yang sudah bersertifikat HGB oleh perseroan terbatas (PT) lebih mudah dan cepat.

Karena tanah yang sudah bersertifikat HGB dapat langsung saja dilakukan transaksi dengan penandatanganan akta jual beli (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

AJB dapat dilakukan apabila penjual dan pembeli sepakat untuk pembayaran langsung secara tunai.

Apabila para pihak sepakat pembayaran secara bertahap, maka di tahap awal transaksi dapat dilakukan dengan penandatangan akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).

Di dalam PPJB tersebut dicantumkan bahwa AJB dilaksanakan nanti setelah pembayaran dilunasi oleh pembeli kepada penjual.

Selain transaksi lahan yang sudah HGB lebih mudah, transaksi jenis ini juga lebih cepat. Karena prosesnya cukup sekali saja di kantor PPAT, yaitu membuat AJB.

Tahapan akusisi lahan HGB

Dalam mengakuisisi lahan HGB oleh PT developer langkah yang harus dilakukan adalah pengecekan sertifikat, pembayaran pajak-pajak dan validasi, penandataganan Akta Jual Beli (AJB) dan pengajuan permohonan baliknama.

Pengecekan sertifikat

Sebelum penandatanganan AJB dilakukan, sertifikat harus dicek terlebih dahulu ke kantor pertanahan. Pentingnya pengecekan ini adalah untuk mengetahui apakah sertifikat tersebut terdapat catatan atau tidak.

Jika terdapat catatan di buku tanahnya maka transaksi tidak dapat dilanjutkan sebelum catatan yang melekat di buku tanah tersebut dibersihkan.

Ada beberapa kemungkinan catatan yang terdapat di buku tanah sebuah sertifikat, diantaranya:

  • Pencatatan blokir dari pengadilan

Pemblokiran sertifikat dari pengadilan apabila atas sertifikat tersebut terdapat suatu perkara yang sedang berlangsung di pengadilan.

Sehingga sertifikat tersebut tidak dapat dilakukan proses mengalihkan, menjaminkan atau proses apapun.

Sertifikat tersebut dalam status quo sampai dengan ada putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah (Inkracht Van Gewijsde)  

  • Pencatatan blokir dari kepolisian

Pencatatan blokir juga bisa berasal dari kepolisian. Hal ini bisa terjadi apabila atas sertifikat tersebut terdapat suatu kasus pidana yang sedang dalam proses.

Pemblokiran oleh kepolisian ini akan tetap melekat di buku tanah sampai dengan perkara yang berkaitan selesai.

  • Blokir dari perorangan atau badan hukum

Pencatatan blokir bisa juga dilakukan oleh perorangan atau badan hukum. Syaratnya adalah terdapat hubungan hukum pihak yang mengajukan blokir dengan objek dimaksud.

Hubungan hukum tersebut diantaranya adalah hubungan karena warisan, adanya perjanjian dengan objek tersebut baik secara bawah tangan atau notariil atau hubungan perikatan antara bank dengan nasabahnya baik perikatan tersebut secara di bawah tanah atau dengan akta notaris.

Apabila terdapat catatan atau blokir atau catatan sita di dalam buku tanah sebuah sertifikat maka sertifikat tersebut tidak dapat dilakukan transaksi sampai dengan catatan tersebut dihapus.

Sebagai keterangan tertulis atas catatan di buku tanah tersebut, kantor pertanahan akan mengeluarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT).

Dimana di dalam SKPT tersebut diterangkan apa apa saja catatan atau blokir yang terdapat di dalam buku tanahnya.

  • Mencabut blokir sertifikat

Penghapusan catatan atau blokir di sertifikat diajukan oleh pihak melakukan pencatatan atau blokir tersebut. Jika catatan blokir diajukan oleh pengadilan maka nantinya pengadilan juga yang bisa mengajukan permohonan penghapusan blokir tersebut.

Demikian juga apabila pemblokiran dilakukan oleh kepolisian, orang perorangan atau badan hukum maka mereka jugalah yang bisa mencabut blokir tersebut.

Permohonan pencabutan blokir diajukan secara tertulis dengan mencantumkan alasan pencabutan blokir tersebut disertai bukti-bukti jika diperlukan.

Pembayaran pajak-pajak dan validasi

Selanjutnya apabila pengecekan sertifikat sudah selesai, maka para pihak diwajibkan membayar pajak-pajak.

Pajak penjual  

Pajak yang wajib dibayarkan adalah Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 2,5% yang menjadi kewajiban penjual.

Pajak pembeli

Pembeli tertagih Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang besarnya 5%. Pengenaan pajak 5% setelah nilai transaksi dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang besarnya Rp60 juta, kecuali DKI Jakarta NPOPTKP-nya Rp80 juta.

Pajak Pertambahan Nilai

Pajak selanjutnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang besarnya 11%. PPN tertagih jika penjual adalah badan hukum.

Namun apabila penjualnya orang perorangan, tidak ada PPN yang timbul.

Setelah pembayaran semua pajak-pajak tersebut, langkah selanjutnya adalah melakukan validasi ke instansi terkait. PPh dan PPN divalidasi ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat dan BPHTB ke dinas pendapatan daerah.

Proses validasi ini merupakan langkah penting karena adakalanya terdapat ketidaksesuaian antara nilai yang tercantum dalam slip setoran pajak dengan hasil analisa nilai objek dari petugas pajak.

Ada kemungkinan setelah melakukan anlisis tentang lokasi berkaitan dengan nilai transaksi dan jumlah pajak yang dibayarkan, pajak yang sudah dibayarkan dinyatakan kurang oleh petugas.

Jika pajak dinyatakan kurang bayar maka wajib pajak harus membayarkan kekurangan tersebut terlebih dahulu.

Penandatanganan AJB

Setelah semua persyaratan transaksi dilengkapi dan PPAT sudah mempersiapkan draft aktanya, kemudian para pihak menandatangani AJB tersebut.

Setelah akta ditandatangani PPAT menyempurnakan akta dengan memberi nomor akta dan menandatangani dan mengeluarkan salinannya untuk diberikan kepada para pihak.

Pembeli dan penjual mendapatkan satu eksemplar salinan akta, selanjutnya satu eksemplar didaftarkan ke kantor pertanahan untuk diajukan baliknama. Dan satu eksemplar disimpan di kantor PPAT sebagai minuta akta.

Pendaftaran permohonan baliknama

Langkah selanjutnya setelah akta ditandatangani adalah mengajukan permohonan baliknama ke kantor pertanahan.

Proses ini harusnya tidak terlalu lama, dalam tujuh hari kerja proses baliknama sudah selesai dan sertifikat dapat diambil kembali dari kantor pertanahan. Dengan demikian proses transaksi dari penjual ke pembeli sudah selesai dengan sempurna.

Syarat-syarat baliknama:

  1. Asli sertifikat
  2. SPPT PBB dan bukti pembayaran sampai dengan tahun berjalan
  3. Salinan skta jual beli asli
  4. Foto copy KTP, KK dan KTP pasangan, NPWP penjual, dalam hal penjual adalah orang perseorangan
  5. Foto copy akta pendirian dan perubahan-perubahannya PT penjual, dalam hal penjual adalah badan hukum
  6. Foto copy akta pendirian dan perubahan-perubahan PT pembeli
  7. Foto copy pengesahan atau persetujuan atas perubahan akta tersebut dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) penjual dan pembeli
  8. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan hukum penjual dan pembeli
  9. Nomor Induk Berusaha (NIB) badan hukum penjual dan pembeli
  10. Foto copy KTP direktur utama dan komisaris utama penjual dan pembeli
  11. Foto copy pembayaran pajak-pajak (PPh, BPHTB, PPN)
  12. Risalah rapat yang menyatakan persetujuan dari komisaris atas penjualan aset perusahaan tersebut dalam hal penjual adalah badan hukum
  13. Risalah rapat yang menyatakan persetujuan dari komisaris atas pembelian aset berupa tanah dan bangunan tersebut
  14. Surat kuasa jika dikuasakan

Biaya-biaya yang diperlukan:

  1. Pengecekan sertifikat, besarnya Rp50.000.
  2. Biaya akta, paling besar 1% dari nilai transaksi.
  3. Pajak-pajak, sesuai dengan peraturan dan bergantung kepada nilai transaksi; PPh, BPHTB dan PPN.
  4. Baliknama dan Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNBP), besarnya biaya baliknama tergantung PPAT dan PNBP tergantung sistem yang mengacu kepada besarnya Zona Nilai Tanah (ZNT).

Langkah developer mengakuisisi lahan SHM

Langkah sebuah perusahaan developer mengakuisi lahan yang sudah Sertifikat Hak Milik (SHM) berbeda dengan langkah mengakuisi lahan HGB.

Apabila dalam mengakuisisi lahan bersertifikat HGB dapat langsung dilaksanakan transaksi dengan penandatanganan AJB dan langsung diajukan baliknama, tetapi apabila lahannya sudah SHM tidak dapat dilakukan AJB.

Karena badan hukum tidak dibenarkan membeli atau memiliki lahan dalam bentuk SHM. Hal ini tercantum di dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria.

Jadi jika SHM dibeli oleh badan hukum dengan AJB, maka terdapat kewajiban untuk mengajukan baliknama atas AJB tersebut dalam waktu paling lama tujuh hari. Sementara baliknama SHM ke PT tidak diperbolehkan undang-undang.

Maka dalam membeli tanah yang sudah SHM, transaksinya dengan cara membuat akta pelepasan hak.

Logika hukumnya adalah pemilik SHM melepaskan haknya atas tanah tersebut kepada negara, selanjutnya negara memberikan hak guna bangunan kepada badan hukum yang mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut.

Atas pelepasan haknya tersebut, pemilik SHM mendapatkan ganti rugi yang mana ganti rugi ini diberikan oleh badan hukum yang akan memohonkan hak atas tanah tersebut.

Selanjutnya berdasarkan akta pelepasan hak badan hukum developer memohonkan SHGB ke kantor pertanahan.

Terdapat beberapa langkah yang harus dilalui dalam permohonan HGB, diantaranya pengukuran, permohonan SK hak dan pencetakan sertifikat.

Pengukuran

Langkah pertama yang harus dilakukan dalam memohonkan sertifikat HGB adalah mengajukan permohonan pengukuran.

Dalam tahapan ini petugas dari kantor BPN datang ke lokasi untuk melakukan pengukuran untuk mendapatkan data-data fisik tanah.

Berdasarkan data-data fisik tanah tersebut selanjutnya BPN melakukan pemetaan dan menerbitkan Peta Bidang Tanah (PBT) yang sudah disesuaikan dengan peta yang ada di kantor BPN.

Dengan adanya tahapan pemetaan ini kesalahan-kesalahan seperti salah dalam pemetaan titik lokasi atau overlapping antar bidang tanah dapat dihindarkan.

Permohonan SK hak

Setelah peta bidang tanah terbit, langkah selanjutnya adalah permohonan penetapan surat keputusan pemberian hak guna bangunan.

Langkah dalam permhonan SK ini cukup panjang karena harus melalui tahapan pemeriksaan oleh Panitia A. Dimana yang menjadi anggota Panitia A ini terdiri dari berbagai seksi yang ada di BPN.

Mulai dari seksi pemberian hak, pemetaan dan pengukuran, seksi sengketa dan seksi lainnya yang berhubungan dengan pemberian hak atas tanah.

Termasuk kepala desa atau lurah juga termasuk dalam keanggotaan Panitia A.

Tugas dari Panitia A ini adalah melakukan penelaahan tentang  jenis hak yang akan ditetapkan, data pendukung berkas permohonan, dasar hukum atas penetapan hak, subyek hak, obyek hak dan analisa tentang hak atas tanah yang akan ditetapkan.

Setelah melakukan telaahan dan analisa selanjutnya Panitia A membuat risalah pemberian HGB untuk ditandatangani oleh kepala kantor pertanda pemberian HGB sudah disahkan.

Untuk luasan tanah tertentu SK hak atas tanah ditandatangani oleh kepala kantor wilayah BPN atau Menteri Agraria dan Tata Tuang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI.

Di dalam risalah SK HGB tersebut juga tercantum kewajiban penerima hak untuk membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

BPHTB dibayarkan oleh penerima hak ke bank penerima untuk selanjutnya melaporkannya ke dinas terkait.

Pencetakan sertifikat

Setelah SK HGB tersebut ditandatangani oleh kepala kantor pertanahan (untuk luasan tertentu ditandatagani oleh kepala kantor wilayah BPN atau Menteri Agraria dan Tata Ruang/kepala BPN RI) dan BPHTB sudah dibayar dan divalidasi maka langkah selanjutnya adalah mendaftarkan kembali SK tersebut ke BPN untuk diterbitkan sertifikatnya.

Proses ini tidak terlalu lama, harusnya dalam waktu 7 hari kerja sudah selesai. Kemudian setelah selesai proses pencetakan sertifikat selanjutnya sertifikat dapat diambil oleh pemohon di loket pengambilan. Dengan demikian selesailah proses permohonan HGB atas nama PT developer.

Mengakuisisi lahan girik oleh developer

Tahapan mengakuisisi lahan girik oleh developer berbadan hukum terdiri dari beberapa langkah diantaranya adalah melengkapi persyaratan jual beli tanah girik dari kantor desa atau kelurahan, membuat akta pelepasan hak dengan akta notaris selanjutnya mengajukan permohonan HGB di kantor pertanahan.

Melengkapi persyaratan jual beli tanah girik di kantor desa atau kelurahan

Ada beberapa persyaratan yang harus dilengkapi terlebih dahulu jika sebidang tanah girik akan diperjual belikan, yaitu

  1. Surat keterangan tidak sengketa
  2. Surat keterangan riwayat tanah
  3. Surat keterangan penguasaan fisik secara sporadik
  4. Surat keterangan waris jika pemilik girik sudah meninggal

Semua surat keterangan ini dikeluarkan oleh kepala desa atau lurah. Dimana persyaratan ini diperlukan untuk menyatakan bahwa pemohon betul-betul sebagai pemilik yang sah yang menguasai fisik tanah tersebut , riwayat penguasaannya jelas dan tanah tersebut tidak sedang dalam sengketa dengan pihak manapun. Itulah inti dari surat-surat keterangan tersebut.

Semua persyaratan ini dibuat atas nama pemilik tanah dan diperlukan sebagai persyaratan dibuatnya akta pelepasan hak.

Persyaratan ini sama saja apakah tanah tersebut akan dibeli oleh orang perorangan atau badan hukum.

Membuat akta pelepasan hak di hadapan notaris

Setelah semua persyaratan tersebut dilengkapi maka langkah selanjutnya adalah membuat akta pelepasan hak di hadapan notaris.

Sebagai pihak yang melepaskan haknya adalah si pemilik girik dan sebagai penerima hak adalah PT developer.

Atas pembuatan akta pelepasan hak ini pemilik girik dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 2,5% dari nilai pelepasan haknya seperti yang tecantum dalam akta pelepasan hak.

Sementara penerima hak, dalam hal ini adalah PT developer tertagih BPHTB yang besarnya 5% setelah dikurangi NPOPTKP Rp60 juta atau Rp80 juta.  Cara perhitungan PPh dan BPHTB sama dengan jual beli dengan alas hak HGB.

Perbedaan terletak pada waktu pembayarannya, jika transaksi dengan alas hak HGB dengan Akta Jual Beli, pembayaran BPHTB dilakukan sebelum penandatanganan AJB atau saat transaksi.

Sedangkan transaksi tanah girik ini, pembayaran BPHTB dilakukan pada saat permohohan sertifikat sudah terbit SK haknya.

Jadi terdapat jeda waktu antara penandatanganan akta pelepasan hak dengan kewajiban membayar BPHTB. Diperkirakan jeda waktunya bisa lebih kurang 4 bulan, tergantung proses SK di BPN.

Mengajukan permohonan hak ke kantor BPN

Berdasarkan akta pelepasan hak yang sudah dibuat di kantor notaris lalu PT developer mengajukan permohonan HGB ke BPN.

Tahapannya adalah mengajukan permohonan pengukuran, permohonan SK hak dan pencetakan sertifikat.

  • Pengukuran
  • Permohonan SK hak
  • Pencetakan sertifikat

Langkah-langkah tersebut di atas, sama saja prosesnya dengan permohonan sertifikat ketika PT membeli tanah dalam bentuk SHM.

Pengumuman data fisik dan yuridis

Hanya saja ada perbedaan ketika Peta Bidang Tanah sudah selesai dan permohonan SK HGB sudah didaftarkan ke BPN terdapat langkah tambahan yaitu pengumunan tentang permohonan hak ini di kantor BPN dan kantor desa atau kelurahan setempat selama dua bulan.

Isi dari pengumuman ini adalah tentang data fisik dan data yuridis tanah yang sedang dimohonkan.

Pengumuman ini bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang keberatan terhadap proses penerbitan sertifikat ini.

Jika sesudah jangka waktu pengumuman terlewati dan tidak ada pihak yang mengajukan keberatan maka proses penerbitan sertifikat dapat dilanjutkan.

Tetapi apabila ada pihak yang mengajukan keberatan maka proses permohonan sertifikat tidak dapat dilanjutkan. Dihentikan dulu sementara.

Lalu kantor pertanahan melalui pejabat terkait akan melakukan telaahan terhadap keberatan tersebut.

Apabila keberatan tersebut memiliki dasar yang kuat maka proses permohonan sertifikat dihentikan sampai dengan adanya penyelesaian. Penyelesaiannya tergantung para pihak.

Mungkin saja akan berlanjut ke proses litigasi di pengadilan, bisa juga melalui non litigasi atau kesepakatan di luar pengadilan. Keduanya boleh-boleh saja.

Nantinya BPN akan melihat penyelesaian tersebut apakah bisa dijadikan dasar untuk melanjutkan permohonan sertifikat.

Mengakuisisi lahan yang tidak ada surat-suratnya

Tidak tertutup kemungkinan ada tanah yang tidak ada surat-suratnya, alas haknya hanya berupa SPPT PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan) saja, sementara SPPT PBB bukanlah bukti kepemilikan.

Terhadap tanah ini tidak usah khawatir karena tanah yang tidak ada surat-suratnya tetap bisa dimohonkan sertifikat dan diperjual belikan, asal persyaratannya dipenuhi.

Peraturan pemerintah tentang tanah yang tidak ada surat-suratnya

Pemerintah mengatur tentang permohonan sertifikat terhadap tanah yang tidak ada surat-suratnya ini dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 24.

(1) Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebani-nya.

(2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersang-kutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara ber-turut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:

-penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya;

-penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

Saksi dari orang yang dapat dipercaya

Dalam Pasal 24 di atas dapat dilihat bahwa apabila tidak ada bukti kepemilikan maka dapat dibuat surat keterangan penguasaan fisik tanah yang menyatakan bahwa pemohon sudah menguasai bidang tanah tersebut selama paling sedikit 20 tahun berturut-turut dengan iā€™tikad baik, yang disaksikan oleh orang yang dapat dipercaya.

Orang yang dapat dipercaya ini mungkin saja kepala desa, lurah, kepala adat atau pihak berwenang lainnya.

Selanjutnya berdasarkan surat keterangan penguasaan fisik tersebut, si pemohon mengajukan permohonan hak ke kantor pertanahan.

Langkah selanjutnya sama saja dengan permohonan sertifikat tanah girik, yaitu pengukuran, permohonan SK hak, pembayaran BPHTB dan permohonan pencetakan sertiftikat.

Setelah sertifikat selesai, bisa dilakukan jual beli dengan PT developer dengan proses normal, yaitu dengan Akta Jual Beli di hadapan PPAT.

Biaya-biaya juga normal seperti biaya AJB dan baliknama, pajak PPh, BPHTB dan lain-lain.

Karena pada umumnya sertifikat yang terbit pertama kali untuk tanah yang tidak ada surat-suratnya ini adalah SHGB atau Sertifikat Hak Guna Bangunan.

 

Lihat artikel lainnya:
Langkah Developer Mengakuisisi Lahan Untuk Dibangun Proyek Properti
Tagged on:                                                             

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×

Hallo...!

Workshop Cara Benar Memulai Bisnis Developer Properti Bagi Pemula akan diadakan tanggal 20-21 Januari 2024 di Jakarta

× Info Workshop Developer Properti