Dalam PP No. 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman, sebagai turunan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja atau UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, diatur juga mengenai penjualan perumahan dengan sistem PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli). Dimana PPJB ini dilakukan apabila akta jual beli (AJB) belum bisa ditandatangani.

Penyebabnya mungkin saja rumahya belum jadi, sertifikat belum selesai diurus atau belum dipecah menurut unit yang diperjualbelikan. Atau karena sebab apapun sehingga AJB belum bisa dilaksanakan.

Dengan diterbitkannya PP No. 12 Tahun 2021 ini, maka Permen PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem PPJB Rumah telah tidak berlaku atau sudah dicabut.

Sekarang kita lihat dalam PP No. 12 Tahun 2021 ini, di Pasal 22 ayat 3; Rumah tunggal, Rumah deret, dan/atau Rumah susun yang masih dalam tahap pembangunan dapat dilakukan Pemasaran oleh pelaku pembangunan melalui Sistem PPJB.

Di ayat 4 dilanjutkan bahwa Sistem PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk Rumah umum milik dan Rumah komersial milik yang berbentuk Rumah tunggal, Rumah deret, dan Rumah susun.

Jadi dari bunyi kalimat di atas dapat dilihat bahwa penjualan dengan sistem PPJB ini bisa berlaku untuk perumahan tapak baik rumah subsidi atau non subsidi dan berlaku juga untuk rumah susun (termasuk apartemen).

Syarat dapat dibuat PPJB 

Selanjutnya di ayat 5 diatur mengenai syarat dapat dibuat PPJB, yaitu PPJB dapat dibuat setelah ada kepastian atas; status kepemilikan tanah, hal yang diperjanjikan, PBG, ketersediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum, dan keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen).

Kepastian kepemilikan tanah

Kepastian hak atas tanah dibuktikan dengan sertipikat hak atas tanah atas nama pelaku pembangunan atau sertifikat hak atas tanah atas nama pemilik tanah yang dikerjasamakan atau dokumen hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Dalam hal hak atas tanah masih atas nama pemilik tanah yang dikerjasamakan dengan pelaku pembangunan atau developer pelaku pembangunan harus menjamin dan menjelaskan kepastian status penguasaan tanah.

Apabila tanah tidak atas nama developer, artinya harus ada hubungan hukum antara nama yang tercantum dalam sertifikat dengan developer.

Hubungan hukum itu mungkin saja Surat Perjanjian Kerjasama Pembangunan Perumahan, Surat Kuasa Mengelola Tanah Menjadi Proyek Perumahan, Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara pemilik sertifikat dengan pengelola atau hubungan hukum lainnya.

Hal yang diperjanjikan  

Dalam PPJB yang dibuat antara pelaku pembangunan atau developer dengan konsumen yang sepakat untuk membeli perumahan harus memuat hal-hal mengenai objek perjanjian, diantaranya:

  1. kondisi Rumah; dalam PPJB musti diterangkan kondisi rumah yang menjadi objek PPJB, termasuk di dalamnya detil teknis dari rumah tersebut. Misalnya alamat lokasi rumahnya, luasnya tanah berapa, luas bangunan dan spesifikasi teknis lainnya.
  2. Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU); dalam PPJB juga dicantumkan apa dan dimana saja PSU, sehingga pembeli ada jaminan bahwa perumahan yang mereka beli terdapat fasilitas umum dan fasilitas sosial.  
  3. penjelasan kepada calon pembeli mengenai materi muatan PPJB; ketika penandatanganan PPJB pelaku pembangunan atau developer harus menerangkan dengan sejelas-jelasnya isi dari PPJB, termasuk sanksi-sanksi jika para pihak wanprestasi. Baik wanprestasi dari sisi konsumen maupun wanprestasi dari sisi developer.
  4. status tanah dan/atau bangunan dalam hal menjadi agunan; apabila tanah dan atau bangunan yang menjadi objek PPJB sedang menjadi agunan, hal ini juga musti disampaikan kepada calon konsumen.

Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)

PPJB bisa dilakukan setelah pelaku pembangunan atau developer mendapatkan PBG. Dulunya PBG ini bernama Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Dengan diundangkan UU Cipta Kerja ini maka IMB diganti dengan PBG.

Dimana pada saat penandatanganan PPJB, PBG harus dilampirkan. Artinya PPJB bisa dilakukan setelah proyek memperoleh PBG.

Ketersediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum

Sebelum penandatanganan PPJB pelaku pembangunan harus memastikan ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum Perumahan yang dibuktikan dengan:

  1. terbangunnya prasarana paling sedikit jalan dan saluran pembuangan air hujan/drainase;
  2. lokasi pembangunan sarana sesuai peruntukan; dan
  3. surat pernyataan pelaku pembangunan mengenai tersedianya Utilitas Umum berupa sumber listrik dan sumber air.

Sementara ketersediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum untuk rumah susun dibuktikan dengan surat pernyataan dari pelaku pembangunan mengenai ketersediaan tanah siap bangun di luar tanah bersama yang akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota atau Pemerintah Daerah provinsi khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen).

Syarat PPJB selanjutnya adalah keterbangunan paling sedikit 20%, dimana hal ini dibuktikan dengan:

  1. untuk Rumah tunggal atau Rumah deret keterbangunan paling sedikit 20% dari seluruh jumlah unit Rumah serta ketersediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum dalam suatu Perumahan yang direncanakan.
  2. untuk Rumah susun keterbangunan paling sedikit 20% dari volume konstruksi bangunan Rumah susun yang sedang dipasarkan.

Lebih mudah mengartikan ini; jika perumahan yang akan dibangun dalam perencanaan adalah 500 unit, maka 20%-nya atau 100 unit sudah harus dibangun dulu, barulah bisa penandatanganan PPJB dengan para pembeli. Artinya jika belum dibangun 100 unit minimal maka belum bisa dilakukan PPJB.

Dalam hal memastikan bahwa tingkat keterbangunan sudah mencapai 20%, hal ini berdasarkan laporan dari konsultan pengawas pembangunan atau konsultan manajemen konstruksi.

Isi PPJB

Tentang isi PPJB diatur dalam Pasal 22J:

PPJB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A paling sedikit memuat:

  1. identitas para pihak
  2. uraian objek PPJB.
  3. harga Rumah dan tata cara pembayaran
  4. jaminan pelaku pembangunan
  5. hak dan kewajiban para pihak
  6. waktu serah terima bangunan
  7. pemeliharaan bangunan
  8. penggunaan bangunan
  9. pengalihan hak
  10. pembatalan dan berakhirnya PPJB
  11. penyelesaian sengketa.

PPJB wajib dipelajari lebih dahulu oleh calon pembeli

Selanjutnya dalam Pasal 22K juga diatur mengenai hak dari calon pembeli untuk mempelajari PPJB tersebut dalam waktu paling singkat 7 (tujuh) hari kerja sebelum dilakukan penandatanganan di hadapatn notaris.

Selanjutnya dalam PP ini juga diatur mengenai honararium atau jasa notaris sebesar seperseribu dari harga rumah atau 0,1% dari harga rumah, apabila calon pembeli adalah MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) atau yang menjadi objek PPJB adalah rumah subsidi. Hal ini diatur dalam Pasal 22K ayat 4.

Jadi jika harga rumah Rp168 juta maka maka honor notaris adalah Rp168.000,- hmmmm kecil juga ya.

Tentang jumlah uang yang boleh ditarik oleh developer dari konsumen sebelum PPJB

Dalam Pasal 22L ayatu (1) diatur bahwa Pelaku pembangunan atau developer tidak boleh menarik dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) kepada pembeli sebelum memenuhi persyaratan PPJB.

Artinya jika syarat PPJB seperti yang diatur dalam PP No. 12 Tahun 2021 ini sudah terpenuhi maka developer boleh saja menarik dana lebih dari 80% dari harga rumah, atau langsung meminta pelunasanpun kepada pembeli ya boleh boleh saja.

Bagaimana jika jual beli batal

Hal ini diatur dalam ayat (2) Dalam hal pembatalan pembelian Rumah setelah penandatanganan PPJB karena kelalaian pelaku pembangunan, pembayaran yang telah diterima harus dikembalikan kepada pembeli.

Jika pembayaran kurang dari 10%

Selanjutnya dalam ayat (3) diatur tentang pengembalian uang; Dalam hal pembayaran telah dilakukan pembeli paling banyak 10% (sepuluh persen) dari harga transaksi, terjadi pembatalan pembelian Rumah setelah penandatanganan PPJB akibat kelalaian pembeli, keseluruhan pembayaran menjadi hak pelaku pembangunan.

Artinya jika pembeli membatalkan pembelian setelah ia membayar 10% maka semua uang yang sudah dibayarkan tersebut menjadi milik developer.

Jika pembayaran sudah lebih dari 10%

Jika pembayaran sudah lebih dari 10% diatur dalam ayat (4); Dalam hal pembayaran telah dilakukan pembeli lebih dari 10% (sepuluh persen) dari harga transaksi, terjadi pembatalan pembelian Rumah setelah penandatanganan PPJB akibat kelalaian pembeli, pelaku pembangunan berhak memotong 10% (sepuluh persen) dari harga transaksi.

Jadi apabila pembeli sudah membayar lebih dari 10% lalu dia membatalkan pembelian maka yang wajib dikebalikan oleh developer adalah kelebihan dari 10% tersebut.

Misalnya harga rumah Rp200 juta, pembeli sudah PPJB dan membayar 50 juta atau 25%, maka ketika terjadi pembatalan oleh pembeli, developer wajib mengembalikan 15% sementara 10% menjadi hak developer. Untuk kasus di atas wajib dikembalikan 30 juta kepada pembeli.

Lihat artikel lainnya:
Begini Sistem PPJB Dalam Pemasaran Perumahan Menurut PP No. 12 Tahun 2021 Sebagai Turunan Dari UU Cipta Kerja
Tagged on:                                                                             

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×

Hallo...!

Workshop Cara Benar Memulai Bisnis Developer Properti Bagi Pemula akan diadakan tanggal 20-21 Januari 2024 di Jakarta

× Info Workshop Developer Properti