Berinvestasi di properti relatif lebih aman jika dibandingkan instrumen investasi lainnya.
Dalam properti tidak mengenal fluktuasi harga dalam jangka pendek seperti yang acap terjadi pada investasi saham.
Namun sebenarnya harga properti bisa saja terjadi penurunan apabila terjadi bubble (menggelembung) properti.
Bubble terjadi salah satunya disebabkan oleh harga yang sudah terlalu tinggi sehingga harga tersebut sudah tidak menggambarkan harga sebenarnya. Sementara pembeli properti didominasi oleh spekulan yang bernama investor.
Apabila investor properti membeli properti dengan KPR
Akhirnya tidak ada lagi yang sanggup membeli properti sehingga harga menjadi jatuh. Kondisi ini diperparah jika para investor membeli properti dengan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Ujung-ujungnya terjadi kredit macet karena investor tidak sanggup membayar utangnya dengan jaminan properti.
Pembayaran cicilan juga tidak bisa mengandalkan dari sewa properti tersebut karena tidak seimbang antara besaran cicilan dengan besarnya nilai sewa.
Cicilan kepada bank jauh lebih besar jika dibandingkan dengan uang dari hasil sewa properti tersebut. Akibatnya pemiliknya tidak sanggup mencicil.
Hal ini terjadi karena harga beli properti yang sudah amat tinggi akibat kondisi bubble properti tersebut.
NPL bank menjadi tinggi
Kredit yang macet tersebut akan menjadi catatan jelek bagi bank pemberi kredit. Tingkat Non Performing Loan (NPL)-nya meningkat. Sehingga bank tersebut bisa saja diberi sanksi oleh BI.
Karena memang BI membatasi nilai NPL yang boleh terjadi pada sebuah bank yang pada umumnya 5%.
Namun di Indonesia, para stake holder properti seperti pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap kondisi ini sehingga pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) menerapkan peraturan mengenai peningkatan kehati-hatian bank dalam menyalurkan kredit sektor properti.
Peraturan-peraturan yang dilahirkan BI seperti penerapan besaran Loan to Value (LTV) atau rasio jumlah kredit terhadap nilai propertii, diharapkan mampu menghindari pasar properti Indonesia dari kondisi bubble.
Jangan sampai terjadi bubble properti
Jika kondisi bisnis properti sudah berada pada kondisi bubble maka harga properti sangat tinggi akibatnya tidak ada lagi orang yang sanggup membeli properti.
Orang yang membeli properti dengan motif investasipun memandang dan menghitung bahwa dengan harga properti yang sudah amat tinggi tidak menarik lagi.
Karena apabila diperhitungkan dengan harga sewa terhadap properti tersebut tidak memberikan rate yang menguntungkan.
Termasuk juga jika properti tersebut dijual, tidak ada lagi kenaikan harga sehingga capital gain yang diberikan oleh properti tersebut tidak bagus lagi.
Akibatnya banyak sekali properti yang dijual dalam waktu bersamaan. Sementara tidak ada orang yang berminat dan sanggup membeli properti. Baik sebagai properti utama untuk dimiliki maupun sebagai instrumen investasi.
Akibatnya harga properti turun. Itulah kondisi yang akan terjadi jika ada bubble properti. Nah, jika harga properti turun maka yang beruntung adalah orang yang sedang memegang uang dalam jumlah besar.
Dengan adanya uang dalam jumlah besar yang dimilikinya maka dia dapat membeli properti dengan harga murah, karena memang tidak ada orang yang mau dan sanggup membeli properti.
Cash is king
Pada saat itu berlaku istilah cash is king, uang adalah raja. Orang yang memiliki uang adalah raja karena dia bebas membeli properti yang ingin dibelinya.
Karena tersedia banyak sekali pilihan properti yang tersedia. Dan semuanya dengan harga murah.
Jika harganya mahal ya biarkan saja, dia tidak khawatir tidak akan mendapatkan properti yang bagus baik untuk dipergunakan sendiri maupun untuk dijadikan investasi.
Hanya saja dengan membeli properti pada saat pasar properti jatuh, seorang investor tidak bisa mengharapkan mendapatkan keuntungan dalam waktu dekat.
Karena masa pemulihan pasar properti juga membutuhkan waktu yang panjang. Mungkin butuh waktu 3 atau 4 tahun barulah pasar properti membaik lagi. Pada saat itulah orang yang membeli properti pada saat harga murah mendapatkan keuntungan.
Begitulah siklusnya, ketika bubble properti terjadi harga properti sangat tinggi, tidak ada yang saggup dan mau membeli properti. Saat bubble properti terlewati maka harga properti jatuh. Lalu membutuhkan waktu lagi untuk kondisi normal.
Saat kondisi normal maka orang banyak berbisnis properti banyak orang membeli properti maka harganya menjadi naik. Nantinya harga akan naik-naik terus sampai pada suatu titik akan bubble. Itulah siklus bisnis properti.
Lihat artikel lainnya:- Horeee, Sekarang Membeli Rumah Bisa dengan DP 0 Persen
- Begini Siklus Bisnis Properti di Indonesia
- Nikmati Gurihnya Bisnis Properti
- Ini Beberapa Pilihan Properti untuk Investasi
- Maraknya KPR Syariah, Alternatif Investasi Properti Yang Menarik
- Ini Dia Strategi Memilih Properti yang Menguntungkan Untuk Dibeli
- Strategi Bisnis Properti Tanpa KPR Inden
- Keuntungan Menggunakan Kredit Kepemilikan Rumah Syariah Dibandingkan dengan KPR Konvensional
- Ini Alasan Gampangnya Menjual Properti
- Begini Cara Menjadi Investor Properti yang Mudah Anda Praktekkan
- Membeli Properti Lelang, Cara Tepat Mendapatkan Properti di Bawah Harga Pasar
- Fakta Ekonomi Properti: Trendnya Lambat Sehingga Mudah Diprediksi
- Pertanyaan-pertanyaan Sulit Tentang Pembangunan Perumahan, Tetapi Ada Jawabannya
- Begini Skema Sewa Beli Untuk Membeli Rumah
- Tips Sukses Menjadi Investor Properti