Setiap bidang tanah harusnya ada suratnya

Ada pembaca blog ini yang menanyakan apakah aman membeli sebidang tanah yang tidak ada surat-suratnya?

Tanahnya belum bersertifikat, dan pada umumnya tanah yang belum bersertifikat itu adalah tanah girik.

Dan lembar giriknya juga tidak ada. Karena walaupun tanahnya belum bersertifikat tetapi bukti kepemilikan harusnya tetap ada.

Jika tanahnya berupa tanah girik maka buktinya berupa lembar girik berupa bukti pembayaran Ijuran Pembangunan Daerah (Ipeda). 

Demikian juga jika tanahnya berupa tanah garapan, tanah petok, eigendom verponding, kikitir, pipil, yasan, erfpacht, opstaal, dan bukti kepemilikan lainnya.

Lembar bukti pembayaran Ipeda itulah yang dikenal sebagai girik di tengah masyarakat. Kalau sekarang, tidak ada lagi girik yang diterbitkan pemerintah sudah menggantinya menjadi SPPT-PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan sejak adanya Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Baca juga: Ini jadwal workshop cara benar memulai bisnis developer properti bagi pemula

Membeli tanah yang tidak ada giriknya  

Nah, terhadap pertanyaan di atas, yaitu apakah aman membeli tanah yang tidak ada giriknya? Jadi maksudnya surat tanahnya hanya berupa SPPT saja. Ngga ada giriknya. 

Ini prinsip tanah di Indonesia:

Selama tanah tersebut jelas penguasaannya, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi pemerintah dalam hal ini kepala desa, lurah, camat, maka tanah yang tidak ada surat-suratnya aman untuk dibeli.

Jangan lupa proses jual beli atas tanah tersebut harus melibatkan notaris/PPAT, dimana diharapkan notaris atau PPAT tersebut juga ikut memeriksa keabsahan surat-surat tanah yang akan diperjualbelikan. 

Jangan transaksi jual beli hanya di bawah tangan saja, dalam artian hanya jual beli antar penjual dan pembeli dengan menggunakan surat jual beli biasa.

Ini riskan terhadap masalah di kemudian hari, karena surat jual beli di bawah tanah tersebut tidak bisa dijadikan dasar kepemilikan ketika memohonkan sertifikat ke kantor BPN.

Dari pengalaman saya, kondisi ini sangat sering terjadi terutama di daerah-daerah di desa yang masih sepi.

Mereka tidak terlalu memikirkan surat-surat tanah, karena memang di daerah tersebut masih sepi, sehingga tidak ada permintaan terhadap tanah, terhadap rumah baru atau hunian. Atau kebutuhan tanah untuk bisnis.

Kehidupan masyarakat di daerah tersebut berupa kehidupan alamiah. Mata pencarian berupa bertani atau berladang. Dengan tanah yang dimiliki mereka sudah amat cukup untuk hidup berkeluarga.

Bahkan tanah mereka, yang dimiliki secara turun temurun masih cukup untuk penambahan anggota keluarga. Di samping kiri atau kanan dan belakang masih amat memungkinkan membangun rumah baru untuk anggota keluarga baru.

Atau keluarga yang sudah berkeluarga masih bisa membangun rumah lagi di sebelah menyebelah rumah utama. Itulah gambaran kehidupan desa, yang kemungkinan mereka tidak butuh membeli tanah lagi ketika ingin membangun rumah baru.

Jadi saat ini masih banyak tanah milik keluarga yang dimiliki secara turun temurun. Tanah-tanah seperti ini banyak yang tanpa surat-surat bukti kepemilikan. Apalagi tanah di Indonesia ini banyak yang dikuasai secara adat dari zaman dulu.

Asas Domein verklaring

Tanah di Indonesia ini mulai dibuat surat bukti kepemilikan ketika Pemerintah Kolonial menerapkan azas Domein Verklaring yang menyatakan bahwa semua tanah yang ada di Indonesia adalah milik pemerintah kolonial kecuali tanah yang dapat dibuktikan kepemilikan oleh pemiliknya.

Ini kan konyol, akibatnya semua tanah di Indonesia menjadi milik kolonial karena memang tidak ada tanah-tanah di Indonesia ini memiliki bukti kepemilikan tertulis sejak dahulu.

Akibatnya semua bidang tanah harus membayar pajak kepada pemerintah kolonial, sebagai bukti telah membayar pajak maka diberikan bukti berupa surat tertulis, itulah yang dikenal dengan nama eigendom verponding, atau eigendom Indonesia zaman dahulu.

Dimana saat ini surat eigendom tersebut bisa dijadikan bukti kepemilikan dan sebagai dasar permohonan hak atas tanah tersebut.

Sistem penguasaan tanah masyarakat desa

Di desa, atau masyarakat adat, penguasaan tanah sama-sama sudah saling dipahami dan diketahui. Semua masyarakat desa atau masyarakat adat tahu bahwa suatu lokasi tertentu adalah milik sebuah keluarga, dimana mereka sudah saling mengenal satu sama lain.

Dengan kondisi penguasaan tanah seperti itu, ketika mereka akan membangun rumah baru, mereka tidak membutuhkan tanah, maka tidak ada orang yang membeli tanah di situ, wong tanahnya masih luas. Mereka cukup memanfaatkan tanah yang sudah ada saja.

Sehingga harga tanah tidak mahal. Hal inilah yang menyebabkan banyak masyarakat abai terhadap bukti tertulis kepemilikan tanah. 

Fikir mereka, toh semua masyarakat di daerah tersebut tahu bahwa tanah tersebut adalah milik keluarga mereka sehingga mereka merasa tidak perlu membuat atau memiliki kepemilikan tanah secara tertulis.

Dengan kondisi ini, kalaupun ada orang yang jual beli tanah lebih kepada peruntukan pertanian. Seperti sawah, ladang, dan lainnya. Transaksipun masih banyak berupa gadai bukan jual beli.

Kalaupun ada seseorang anggota masyarakat yang memiliki uang dan ingin membeli tanah maka tanah yang ingin dibeli adalah untuk pertanian saja bukan untuk membangun rumah atau untuk bisnis properti.

Terhadap kondisi ini memang tidak terlalu penting bagi mereka memiliki surat-surat tanah. Tetapi akan berbeda ceritanya jika lokasi tersebut sudah ramai.

Mungkin saja lokasi tersebut akan dibangun kawasan industri seperti di Cikarang, Kab. Bekasi, Kabupaten Karawang, Purwakarta daerah industri lainnya zaman dahulu ketika akan dibuka kawasan industri.

Jika ada perencanaan seperti ini, maka permintaan terhadap hunian atau tanah untuk usaha akan meningkat. Karena memang itu hukum alam, semakin banyak orang yang mendiami suatu lokasi maka mereka akan membutuhkan tempat tinggal.

Karena permintaan semakin tinggi maka harga tanah juga meningkat. Itu yang dikenal sebagai hukum supply and demand. Apabila supply terbatas, permintaan meningkat maka harga semakin tinggi.

Banyak bidang tanah di Indonesia yang memang tidak ada lembar bukti kepemilikan

Kondisi ini banyak sekali saya temui ketika banyak sekali orang yang ingin berkonsultasi. Terutama melalui kolom komentar di blog ini atau melalui komentar di video di YouTube channel saya; Asriman Tanjung.

Ada yang berkonsultasi bahwa dia telah mendiami atau memiliki sebidang tanah sejak kakek nenek, bahkan ketika mereka lahirpun sudah di lokasi tersebut, sekarang sudah dewasa. Lalu kakek nenek meninggal, orang tua meninggal.

Dengan demikian ada keinginan untuk menjual warisan berupa tanah dan bangunan atau rumah. Namun ketika ingin menjual barulah mereka sadar bahwa mereka tidak memegang bukti kepemilikan rumah tersebut.

Mereka hanya tahu bahwa tanah tersebut hanya ada SPPT PBB saja yang memang dibayar tiap tahun oleh orang tua mereka.

Hal semacam ini terjadi di tengah masyarakat desa karena memang mereka tidak memahami tentang kepemilikan tanah. Atau mereka memang paham bahwa bukti kepemilikan tanah harusnya berupa sertifikat tetapi tidak tahu cara membuat sertifikat tersebut.

Distorsi informasi pembuatan sertifikat dan pengaruh oknum brengsek di birokasi

Selain tidak tahu caranya banyak juga informasi yang terdistorsi sampai ke masyarakat bawah. Mereka direcoki oleh informasi bahwa membuat sertifikat itu sulit, birokrasi dalam membuat sertifikat berbelit, banyak oknum brengsek yang mempermainkan mereka, biayanya mahal dan informasi lainnya.

Itulah beberapa informasi yang dipahami oleh masyarakat ketika akan berhubungan dengan birokrasi negara terutama dalam membuat sertifikat tanah.

Mereka tidak salah karena semua itu tidak sepenuhnya salah, juga tidak semuanya benar. Dan memang ada oknum pegawai pemerintah yang bermental aji mumpung. Selagi saya menjabat saya akan kumpulkan uang sebanyak-banyaknya tidak peduli itu merugikan masyarakat.

Masyarakat akan terbebani oleh biaya yang seharusnya tidak perlu mereka keluarkan. Karena sebagian besar uang yang mereka keluarkan untuk membuat sertifikat itu masuk ke kantong oknum.

Tidak ada pertanggungjawabannya karena memang tidak ada bukti tanda penerimaan uang. Dan mereka menikmatinya.

Jika memang itu masuk ke kas negara tentu ada bukti setornya. Karena memang begitulah negara mengaturnya.

Tidak memiliki bukti kepemilikan tanah tidak perlu khawatir

Pemerintah mengatur bahwa tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan bisa saja mengajukan permohonan sertifikat, tentu saja dengan persyaratan.

Persyaratan yang utama adalah bahwa mereka atau keluarga secara turun temurun telah menguasai bidang tanah milik mereka tersebut selama minimal 20 tahun berturut-turut tanpa gangguan dari pihak lain. Dan tujuan penguasaan tanah tersebut bisa dibuktikan dengan i’tikad baik.

Artinya tanah tersebut bukan digunakan untuk hal-hal yang melanggar hukum.

Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Lihat pasal 24-nya.

Hal ini bisa dibuktikan dengan surat keterangan yang dibuat oleh kepala desa atau lurah yang disaksikan oleh orang yang memiliki kredibilitas di daerah tersebut.

Orang yang memiliki kredibilitas ini bisa jadi ketua adat, ketua RT, ketua RW atau orang lainnya yang dianggap memiliki otoritas untuk menerangkannya.

Nah, nantinya surat keterangan tersebut akan dinilai oleh pejabat di kantor pertanahan apakah cukup untuk dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat.

Jika tanah girik yang tidak memiliki surat-surat

Ada juga kondisinya, tanahnya sudah jelas-jelas berupa tanah girik, tetapi si pemeilik tidak pernah memegang giriknya sejak dahulu.

Terhadap kondisi ini ada caranya yaitu meminta surat keterangan kepada kepala desa setempat untuk membuatkan surat salinan giriknya. Di tengah masyarakat lebih dikenal sebagai Salinan Letter C.

Surat ini fungsinya sama dengan girik. Setelah surat salinan ini sudah dibuatkan maka diikuti selanjutnya dengan membuat surat keterangan tidak sengketa, surat keterangan riwayat tanah, dan surat penguasaan fisik secara sporadik.

Apabila beberapa dokumen di atas sudah lengkap, maka kantor pertanahan pasti akan menerima dan memproses permohonan sertifikat. Dan setelah menjalani prosesnya maka akan diterbitkan sertifikat yang langsung menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).

Lihat artikel lainnya:

Tags

Apakah Aman Membeli Tanah Girik Yang Tidak Ada Giriknya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×

Hallo...!

Workshop Cara Benar Memulai Bisnis Developer Properti Bagi Pemula akan diadakan tanggal 20-21 Januari 2024 di Jakarta

× Info Workshop Developer Properti