Dalam rangka mendukung masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) khususnya non fix income untuk memperoleh fasilitas rumah subsidi, terhitung 2022 semua diarahkan dengan skema Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).
MBR kelompok ini seperti pelaku usahan kecil dan menengah (UKM). Batasan penghasilan maksimal MBR kelompok ini jika menikah maksimal 8 juta. Jika MBR ini tidak memiliki pinjaman, dimana dia memiliki penghasilan dari usaha 6 juta/bulan, persoalan selesai, repayment capacity (RPC) atau kemampuan membayar sudah pasti terpenuhi yaitu cukup 1/3-nya atau 2 juta untuk cicilan kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi.
KPR subsidi skema BP2BT sendiri cicilan bulanannya hanya sekitar 1,3 Juta-an.
Yang menjadi masalah jika UKM ini punya pinjaman modal kerja seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) jangka pendek dengan nilai cicilan bulanan yg besar. Katakanlah cicilan bulanan 4 juta per-bulan.
Nilai cicilan ini masuk dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) atau BI Cheking. Dimata bank, dalam menghitung RPC, nilai cicilan ini sebagai pengurang penghasilan sebelum dibagi 3. Penghasilan menjadi tidak cukup.
Simulasinya sebagai berikut:
Pemilik warteg mengakui omset usahanya per bulan 16 juta. Dikurangi HPP, biaya biaya 6 juta dan cicilan KUR bank 4 juta, sisa penghasilan bersihnya 6 juta.
Penghasilan bersih 6 juta mestinya memenuhi syarat untuk dukungan KPR program BP2BT. Namun dalam prakteknya bank menolak, karena dari hasil BI cheking ada cicilan 4 juta.
Oleh bank penghasilan bersih dianggap hanya 2 juta, yaitu 6 juta dikurangi 4 juta.
Jika 2 juta dibagi 3, nilai RPC nya hanya 700 ribu. Kurang dari minimal angsuran bulanan terkecil. Maka permohonan KPR subsidi ditolak.
Demikian juga jika pengeluaran KUR tidak mengurangi omset, tapi dihitung sebagai pengurang penghasilan.
Warteg dengan omset 16 juta, dikurangi pengeluaran 6 juta tanpa cicilan KUR yang 4 juta, sisa penghasilan masih 10 JUTA.
Dengan sisa penghasilan 10 juta, maka permohonan KPR subsidi juga di tolak karena maksimal penghasilan melebihi ketentuan yaitu maksimal 8 juta.
Bisa dibayangkan, UKM merasa sisa penghasilan bersih 6 juta, belum pernah punya rumah tapi tidak bisa dapat rumah subsidi.
Solusi
Ketentuan cara menghitung RPC seyogyanya pengeluaran cicilan bank atas pinjaman modal kerja seperti KUR, tidak dihitung sebagai pengurang RPC, meskipun timbul di hasil BI Cheking.
Pemilik UKM sendiri sudah mengeluarkan di berbagai pengeluaran sebelum sebelum menjadi penghasilan bersih.
Mandor tomo | Sekjen Deprindo
Lihat artikel lainnya:- Program Subsidi BP2BT Dihapus
- Masyarakat Yang Memiliki Penghasilan Rp6 Juta-an Bisa Dapat Subsidi KPR Sampai Dengan Rp40 Juta
- Menyambut Booming Pasar Properti Dari Calon Konsumen Pelaku UKM
- MANTAP! Karyawan Kontrak Sudah Bisa Dapat KPR
- Apakah yang Dimaksud Dengan RPC?
- Bank BTN Kembali Salurkan Kredit Perumahan Subsidi BP2BT untuk 11.000 Unit Rumah
- Ini Dia Besaran Penghasilan MBR dan Batasan Luas Lantai Rumah yang Mendapatkan Subsidi Dalam Pembelian Rumah Untuk Tahun 2023
- Apa Beda Program FLPP, BP2BT Dan Subsidi Selisih Bunga KPR?
- KPR BTN Harapan, Harapan Baru Pembeli Rumah Non Subsidi dengan Bunga Rendah
- BP Tapera: ASN Semakin Mudah Memiliki Rumah
- Rumah Subsidi Dijual Komersial, Bagaimana Menghitung Harga Jualnya? Dan Tambahan Biaya Konsumennya
- Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan atau BP3 Untuk Mempercepat Penyediaan Hunian Bagi MBR
- PermenPUPR No. 242/KPTS/M/2020 Tanggal 24 Maret 2020, Batasan Penghasilan untuk Subsidi jadi 8 Juta Per-bulan
- Tahun 2023 Anggaran Subsidi Perumahan Rp30,38 Trilyun Terbanyak Sepanjang Sejarah
- Mencermati Dampak Kuota FLPP Yang Terbatas